Bakalnya dari tiga abad kolonial, hingga sekarang, bahasa Belanda di Indonesia hanya menyisakan serpihan. Tidak hanya itu, bahasa Belanda juga tidak pernah diterima secara luas sebagai bahasa umum di Indonesia.
Pemerintah kolonial Belanda memang tidak memiliki ambisi untuk menyebarkan bahasanya di masyarakat, tapi lebih memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengikat antar-etnis. Bahasa Melayu awalnya adalah alat perjuangan, bukan sekadar alat komunikasi.
Sekolah-sekolah desa hanya mengajarkan baca-tulis dasar berbahasa lokal atau bahasa Melayu rendah (Melayu pasar), yang penting cukup untuk mencetak tenaga kerja murah. Di sisi lain, sekolah elite menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Melayu tinggi.
Bahasa Belanda hanya tersedia bagi segelintir elit, yaitu pejabat Eropa, pengusaha, dan priyayi yang diizinkan masuk lingkaran kekuasaan. Bagi mereka, bahasa itu adalah tiket menuju modernitas versi kolonial.
Pendidikan juga dirancang untuk memperkuat pemisahan ini. Para pejabat Belanda khawatir bahwa jika rakyat dapat membaca dan menulis dengan baik, maka pemerintah mereka akan kehilangan kontrol. Mereka ingin rakyat tetap dalam kemiskinan dan tidak memiliki akses ke pendidikan yang sama.
Namun, bahasa Melayu memang menjadi senjata politik bagi kaum nasionalis. Mereka melihat bahasa Melayu sebagai alat untuk membentuk identitas kolektif Indonesia dan menyebarkan gagasan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Puncak pembentukan identitas kolektif Indonesia terjadi pada Kongres Pemuda II di Batavia, 27-28 Oktober 1928. Di sana, organisasi-organisasi pemuda bersatu dalam satu visi kebangsaan dan membacakan teks Sumpah Pemuda.
Saat Sukarno dan Hatta membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, mereka memilih bahasa Indonesia—bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Belanda. Pilihan ini menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan nasional dan mengukuhkannya dengan Pasal 36 UUD 1945.
Sejak itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi di Indonesia dan terus berkembang. Dalam waktu singkat, kosakata berkembang pesat dan masyarakat mengalami imersi total dalam bahasa baru ini.
Jadi, perlu disadari bahwa bahasa Melayu bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga menjadi senjata politik bagi kaum nasionalis. Dan, tidak seperti yang kita pikirkan, bahasa Belanda di Indonesia sebenarnya hanya menyisakan serpihan dan kehilangan kemampuan untuk berkembang pesat dalam masyarakat.
Pemerintah kolonial Belanda memang tidak memiliki ambisi untuk menyebarkan bahasanya di masyarakat, tapi lebih memilih menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengikat antar-etnis. Bahasa Melayu awalnya adalah alat perjuangan, bukan sekadar alat komunikasi.
Sekolah-sekolah desa hanya mengajarkan baca-tulis dasar berbahasa lokal atau bahasa Melayu rendah (Melayu pasar), yang penting cukup untuk mencetak tenaga kerja murah. Di sisi lain, sekolah elite menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Melayu tinggi.
Bahasa Belanda hanya tersedia bagi segelintir elit, yaitu pejabat Eropa, pengusaha, dan priyayi yang diizinkan masuk lingkaran kekuasaan. Bagi mereka, bahasa itu adalah tiket menuju modernitas versi kolonial.
Pendidikan juga dirancang untuk memperkuat pemisahan ini. Para pejabat Belanda khawatir bahwa jika rakyat dapat membaca dan menulis dengan baik, maka pemerintah mereka akan kehilangan kontrol. Mereka ingin rakyat tetap dalam kemiskinan dan tidak memiliki akses ke pendidikan yang sama.
Namun, bahasa Melayu memang menjadi senjata politik bagi kaum nasionalis. Mereka melihat bahasa Melayu sebagai alat untuk membentuk identitas kolektif Indonesia dan menyebarkan gagasan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.
Puncak pembentukan identitas kolektif Indonesia terjadi pada Kongres Pemuda II di Batavia, 27-28 Oktober 1928. Di sana, organisasi-organisasi pemuda bersatu dalam satu visi kebangsaan dan membacakan teks Sumpah Pemuda.
Saat Sukarno dan Hatta membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, mereka memilih bahasa Indonesia—bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Belanda. Pilihan ini menjadi bagian dari perjuangan kemerdekaan nasional dan mengukuhkannya dengan Pasal 36 UUD 1945.
Sejak itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi di Indonesia dan terus berkembang. Dalam waktu singkat, kosakata berkembang pesat dan masyarakat mengalami imersi total dalam bahasa baru ini.
Jadi, perlu disadari bahwa bahasa Melayu bukan sekadar alat komunikasi, tapi juga menjadi senjata politik bagi kaum nasionalis. Dan, tidak seperti yang kita pikirkan, bahasa Belanda di Indonesia sebenarnya hanya menyisakan serpihan dan kehilangan kemampuan untuk berkembang pesat dalam masyarakat.