Matematika menjadi momok bagi banyak pelajar Indonesia. Menurut data TKA 2025, nilai matematika siswa SMA sederajat tergolong rendah. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti mengatakan bahwa bukan karena kemampuan numerasi murid yang rendah, tetapi mungkin cara kita mengajarannya dan buku yang tidak menarik permasalahan ini.
Pemerintah menyiapkan metode pembelajaran yang lebih menarik agar siswa lebih menyukai bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM). Diharapkan, siswa dapat belajar sains dan teknologi dengan cara yang lebih menarik dan efektif. Pemerintah juga mengembangkan buku-buku bidang STEM agar lebih mudah dipahami, terjangkau, dan menyenangkan.
Rendahnya kemampuan numerasi di Indonesia sejatinya bukan fenomena baru. Berdasarkan asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 dan 2022, performa literasi matematika Indonesia tercatat sangat rendah. Skor yang diperoleh tidak hanya berada di bawah rata-rata OECD (472 pada 2022), tetapi juga stagnan selama 10–15 tahun terakhir.
Penelitian menunjukkan bahwa ada faktor kekurangan kemampuan guru, iya, serta buku yang kurang menarik. Namun, Rakhmat Hidayat, seorang sosiolog dan pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), mengatakan bahwa penyebab rendahnya capaian bersifat jauh lebih luas dan kompleks.
Ia menjelaskan bahwa TKA merupakan kebijakan yang baru diterapkan untuk pertama kalinya. Karena itu, tren nilai pada tahun-tahun berikutnya lebih penting untuk diperhatikan. Jika pada 2026 nilai tetap rendah, barulah dapat ditarik kesimpulan yang lebih kuat adanya persoalan mendasar pada pembelajaran matematika maupun sains, seperti fisika, biologi, dan kimia.
Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (GTKPG) Kemendikdasmen, Nunuk Suryani, menjelaskan bahwa Gerakan Numerasi Nasional atau GNN merupakan inisiatif strategis yang bertujuan meningkatkan kecakapan numerasi sekaligus menumbuhkan budaya berpikir kritis, logis, dan analitis di seluruh lapisan masyarakat.
"Karena kita belajar dari yang sudah kita punya, 15 tahun kemampuan numerasi kita rendah dan itu tidak bisa bersaing dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu dengan revolusi, transformasi pembelajaran matematika menjadi Matematika Gembira. Itu nanti diimplementasikan seluruh Indonesia," katanya.
Pemerintah menyiapkan metode pembelajaran yang lebih menarik agar siswa lebih menyukai bidang Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM). Diharapkan, siswa dapat belajar sains dan teknologi dengan cara yang lebih menarik dan efektif. Pemerintah juga mengembangkan buku-buku bidang STEM agar lebih mudah dipahami, terjangkau, dan menyenangkan.
Rendahnya kemampuan numerasi di Indonesia sejatinya bukan fenomena baru. Berdasarkan asesmen Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 dan 2022, performa literasi matematika Indonesia tercatat sangat rendah. Skor yang diperoleh tidak hanya berada di bawah rata-rata OECD (472 pada 2022), tetapi juga stagnan selama 10–15 tahun terakhir.
Penelitian menunjukkan bahwa ada faktor kekurangan kemampuan guru, iya, serta buku yang kurang menarik. Namun, Rakhmat Hidayat, seorang sosiolog dan pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), mengatakan bahwa penyebab rendahnya capaian bersifat jauh lebih luas dan kompleks.
Ia menjelaskan bahwa TKA merupakan kebijakan yang baru diterapkan untuk pertama kalinya. Karena itu, tren nilai pada tahun-tahun berikutnya lebih penting untuk diperhatikan. Jika pada 2026 nilai tetap rendah, barulah dapat ditarik kesimpulan yang lebih kuat adanya persoalan mendasar pada pembelajaran matematika maupun sains, seperti fisika, biologi, dan kimia.
Direktur Jenderal Guru, Tenaga Kependidikan, dan Pendidikan Guru (GTKPG) Kemendikdasmen, Nunuk Suryani, menjelaskan bahwa Gerakan Numerasi Nasional atau GNN merupakan inisiatif strategis yang bertujuan meningkatkan kecakapan numerasi sekaligus menumbuhkan budaya berpikir kritis, logis, dan analitis di seluruh lapisan masyarakat.
"Karena kita belajar dari yang sudah kita punya, 15 tahun kemampuan numerasi kita rendah dan itu tidak bisa bersaing dengan negara-negara tetangga. Oleh karena itu dengan revolusi, transformasi pembelajaran matematika menjadi Matematika Gembira. Itu nanti diimplementasikan seluruh Indonesia," katanya.