"Revolusi Perancis: Kegagalan Manipulasi untuk Mencegah Pemberontakan Kelas Bawah"
Menurut teori ortodoks, Revolusi Prancis diawali dari ketidakpuasan rakyat terhadap kelas borjuis yang menguasai pemerintahan. Klasifikasi sosial di Prancis pada saat itu membagi masyarakat menjadi tiga lapisan: klerus, bangsawan, dan rakyat jelata.
Klasifikasi ini diprakirakan memiliki ukuran sekitar 90% dari populasi yang jumlahnya terbanyak. Kelas menengah pun juga terkena dampak, karena mereka harus membayar pajak, yang berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan kelas rakyat. Klasifikasi ini kemudian dikompilasi menjadi apa yang disebut "Tiga Estatu" atau "Three Estate", yang merupakan hasil dari praktik-praktik monarkisme di Prancis.
Sementara itu, bangsawan dan kekuasaan gereja ini mempertahankan hak istimewa mereka, seperti pajak "seigneurial" dan tindakan lainnya. Kedua golongan ini sering berkokor dengan kerajaan untuk memperbudak rakyat jelata yang terus menghadapi ketidaksetaraan.
Ketika pergerakan revolusi mulai, kelas menengah pun bersatu-bersatu dan menjadi borjuis baru yang merangkumkan keinginannya dalam serikat partai revolusioner. Kelas menengah ini kemudian terbentuk dari keragaman ideologi berbagai faksi politik di Pranci.
Dalam parlemen, seperti Girondin, Jacobin, dan Montagnards, atau sans-culottes yang berisi orang-orang biasa dari kelas bawah, mendadak menjelma menjadi borjuis baru di abad ke-19 ketika “memenangkan” revolusi. Pada malam 4 Agustus 1789 terjadi momen puncak saat Majelis Nasional Estates-General menghapuskan sistem feodal sepenuhnya.
Penghapusan feodalisme dalam pasal "Dekrit Agustus" ini termasuk hak-hak seigneurial dan tithe, sebuah keputusan yang menandai transisi formal dari praktik-praktik yang selama ini dipertahankan oleh klerus dan bangsawan.
Perpecahan ini melemahkan otoritas gereja di hadapan publik dan menciptakan situasi yang membalikkan legitimasi klerus. Setelah Revolusi, klerus bukan lagi legitimator pusat, melainkan objek perselisihan politik dan sosial.
"Betapa pun tunduknya orang Prancis sebelum Revolusi terhadap kehendak Raja, satu bentuk ketaatan sama sekali tidak mereka kenal: mereka tidak tahu apa artinya tunduk di hadapan kekuasaan yang tidak sah dan diperebutkan," tulis Alexis de Tocqueville dalam The State of Society in France Before the Revolution of 1789.
Revolusi Prancis memang mengalami manipulasi untuk mencegah kebencian terhadap klerus, tetapi pemberontakan dari kelas bawah masih berhasil.
Menurut teori ortodoks, Revolusi Prancis diawali dari ketidakpuasan rakyat terhadap kelas borjuis yang menguasai pemerintahan. Klasifikasi sosial di Prancis pada saat itu membagi masyarakat menjadi tiga lapisan: klerus, bangsawan, dan rakyat jelata.
Klasifikasi ini diprakirakan memiliki ukuran sekitar 90% dari populasi yang jumlahnya terbanyak. Kelas menengah pun juga terkena dampak, karena mereka harus membayar pajak, yang berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan kelas rakyat. Klasifikasi ini kemudian dikompilasi menjadi apa yang disebut "Tiga Estatu" atau "Three Estate", yang merupakan hasil dari praktik-praktik monarkisme di Prancis.
Sementara itu, bangsawan dan kekuasaan gereja ini mempertahankan hak istimewa mereka, seperti pajak "seigneurial" dan tindakan lainnya. Kedua golongan ini sering berkokor dengan kerajaan untuk memperbudak rakyat jelata yang terus menghadapi ketidaksetaraan.
Ketika pergerakan revolusi mulai, kelas menengah pun bersatu-bersatu dan menjadi borjuis baru yang merangkumkan keinginannya dalam serikat partai revolusioner. Kelas menengah ini kemudian terbentuk dari keragaman ideologi berbagai faksi politik di Pranci.
Dalam parlemen, seperti Girondin, Jacobin, dan Montagnards, atau sans-culottes yang berisi orang-orang biasa dari kelas bawah, mendadak menjelma menjadi borjuis baru di abad ke-19 ketika “memenangkan” revolusi. Pada malam 4 Agustus 1789 terjadi momen puncak saat Majelis Nasional Estates-General menghapuskan sistem feodal sepenuhnya.
Penghapusan feodalisme dalam pasal "Dekrit Agustus" ini termasuk hak-hak seigneurial dan tithe, sebuah keputusan yang menandai transisi formal dari praktik-praktik yang selama ini dipertahankan oleh klerus dan bangsawan.
Perpecahan ini melemahkan otoritas gereja di hadapan publik dan menciptakan situasi yang membalikkan legitimasi klerus. Setelah Revolusi, klerus bukan lagi legitimator pusat, melainkan objek perselisihan politik dan sosial.
"Betapa pun tunduknya orang Prancis sebelum Revolusi terhadap kehendak Raja, satu bentuk ketaatan sama sekali tidak mereka kenal: mereka tidak tahu apa artinya tunduk di hadapan kekuasaan yang tidak sah dan diperebutkan," tulis Alexis de Tocqueville dalam The State of Society in France Before the Revolution of 1789.
Revolusi Prancis memang mengalami manipulasi untuk mencegah kebencian terhadap klerus, tetapi pemberontakan dari kelas bawah masih berhasil.