Dalam upaya untuk memberikan klarifikasi atas posisi Syuriah dalam menghadapi pemakzulan Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, Sekretaris LPBH PBNU Abdul Hakam Aqsho menyatakan bahwa para kiai sepuh Nahdlatul Ulama (NU) sangat prihatin atas upaya penjegalan tersebut.
Menurut Hakam, terdapat tiga kekeliruan prosedural dalam proses pemakzulan yang dilakukan oleh Syuriah. Pertama, rapat harian Syuriah yang memutuskan pemakzulan pada 20 November lalu bukan merupakan rapat pleno lengkap seperti yang diharapkan. Kedua, tidak ada proses verifikasi dokumen maupun ruang klarifikasi atas tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Yahya. Ketiga, keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Hakam mengungkapkan bahwa para kiai sepuh sangat prihatin karena sudah ada dua forum yang bisa menjadi ruang tabayyun untuk menyelesaikan masalah ini, yaitu di Lirboyo dan Tebuireng. Namun, Syuriah justru mengabaikan dan tetap menggelar pleno, sehingga langkah-langkah tersebut tidak relevan.
Selain itu, Hakam juga menanggapi pernyataan akademisi NU, Nadirsyah Hosen, yang menyebut marwah organisasi sepenuhnya berada di tangan Syuriah dan Rais Aam. Menurutnya, pandangan tersebut tidak menggambarkan dinamika PBNU secara utuh karena tidak ditopang analisis dan data komprehensif.
Hakam menekankan bahwa keputusan Syuriah memakzulkan Ketua Umum PBNU sangat serampangan, melanggar banyak prosedur, dan jauh dari nilai-nilai yang selama ini dijaga para kiai. Ia juga menyatakan bahwa marwah seperti apa yang ingin ditunjukkan jika justru menyeret NU ke arah kehancuran.
Menurut Hakam, persoalan ini bukan hanya soal organisatoris, tetapi juga menyentuh aspek etis. Ia mengajak seluruh pihak membaca dinamika internal NU secara jernih dan objektif, serta menjunjung tinggi kehormatan para kiai tanpa mempengaruhi proses pengelolaan organisasi yang lebih terbuka dan akuntabel.
Menurut Hakam, terdapat tiga kekeliruan prosedural dalam proses pemakzulan yang dilakukan oleh Syuriah. Pertama, rapat harian Syuriah yang memutuskan pemakzulan pada 20 November lalu bukan merupakan rapat pleno lengkap seperti yang diharapkan. Kedua, tidak ada proses verifikasi dokumen maupun ruang klarifikasi atas tuduhan yang dialamatkan kepada Gus Yahya. Ketiga, keputusan tersebut dinilai tidak sejalan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Hakam mengungkapkan bahwa para kiai sepuh sangat prihatin karena sudah ada dua forum yang bisa menjadi ruang tabayyun untuk menyelesaikan masalah ini, yaitu di Lirboyo dan Tebuireng. Namun, Syuriah justru mengabaikan dan tetap menggelar pleno, sehingga langkah-langkah tersebut tidak relevan.
Selain itu, Hakam juga menanggapi pernyataan akademisi NU, Nadirsyah Hosen, yang menyebut marwah organisasi sepenuhnya berada di tangan Syuriah dan Rais Aam. Menurutnya, pandangan tersebut tidak menggambarkan dinamika PBNU secara utuh karena tidak ditopang analisis dan data komprehensif.
Hakam menekankan bahwa keputusan Syuriah memakzulkan Ketua Umum PBNU sangat serampangan, melanggar banyak prosedur, dan jauh dari nilai-nilai yang selama ini dijaga para kiai. Ia juga menyatakan bahwa marwah seperti apa yang ingin ditunjukkan jika justru menyeret NU ke arah kehancuran.
Menurut Hakam, persoalan ini bukan hanya soal organisatoris, tetapi juga menyentuh aspek etis. Ia mengajak seluruh pihak membaca dinamika internal NU secara jernih dan objektif, serta menjunjung tinggi kehormatan para kiai tanpa mempengaruhi proses pengelolaan organisasi yang lebih terbuka dan akuntabel.