Seorang anggota Komisi III DPR RI, Abdullah, menuntut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menghapus pasal 44 ayat (1) dan (2) dari Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan. Menurutnya, peraturan tersebut telah menyebabkan maraknya praktik debt collector yang melakukan pelanggaran.
Abdullah memuji diri sendiri sebagai pejuang untuk menghapus praktik ini, karena sebelumnya dia telah mengadu kepolisian karena penagih utang yang melakukan tindak pidana. Penyebabnya adalah penagih utang tersebut mengancam polisi saat ingin melakukan penarikan mobil di Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang.
Menurut data dari OJK, selama periode Januari hingga 13 Juni 2025, terdapat 3.858 aduan terkait penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan. Penyebabnya di antaranya karena penagih utang melakukan ancaman, kekerasan, dan mempermalukan.
Abdullah berpendapat bahwa jika perusahaan jasa keuangan melakukan pelanggaran, maka mereka harus mengikuti mekanisme yang ada seperti penagihan, penjaminan, dan penyitaan. Menurutnya, dengan cara ini risiko pelanggaran lainnya relatif kecil dan dapat diminimalisir.
Selain itu, Abdullah juga berpendapat bahwa jika debitur tidak mampu membayar, maka mereka akan masuk daftar hitam atau blacklist nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Bank Indonesia atau OJK.
Abdullah memuji diri sendiri sebagai pejuang untuk menghapus praktik ini, karena sebelumnya dia telah mengadu kepolisian karena penagih utang yang melakukan tindak pidana. Penyebabnya adalah penagih utang tersebut mengancam polisi saat ingin melakukan penarikan mobil di Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang.
Menurut data dari OJK, selama periode Januari hingga 13 Juni 2025, terdapat 3.858 aduan terkait penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan. Penyebabnya di antaranya karena penagih utang melakukan ancaman, kekerasan, dan mempermalukan.
Abdullah berpendapat bahwa jika perusahaan jasa keuangan melakukan pelanggaran, maka mereka harus mengikuti mekanisme yang ada seperti penagihan, penjaminan, dan penyitaan. Menurutnya, dengan cara ini risiko pelanggaran lainnya relatif kecil dan dapat diminimalisir.
Selain itu, Abdullah juga berpendapat bahwa jika debitur tidak mampu membayar, maka mereka akan masuk daftar hitam atau blacklist nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Bank Indonesia atau OJK.