Praktik Bullying di Sekolah, Bisa Bikin Korban Balas Dendam!
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menekankan pentingnya mencegah praktik bullying di sekolah karena bisa menyebabkan dampak psikologis yang serius. Menurutnya, korban bullying bisa mengalami trauma yang ekstrem dan mendorong tindakan balas dendam yang tidak rasional.
"Sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan membentuk karakter positif bagi siswa," kata Hetifah. "Tapi, seringkali sekolah malah melahirkan trauma bagi peserta didik."
Hetifah menekankan kepentingan pihak sekolah dalam mencegah bullying dengan membuat prosedur pelaporan yang aman bagi siswa dan meningkatkan peran guru dalam mengidentifikasi dan menangani kasus. Ia juga mengatakan bahwa orang tua memiliki peran kritis dalam menciptakan komunikasi terbuka dengan anak, memantau perilaku mereka, dan menanamkan nilai-nilai karakter yang kuat.
"Kerja sama antara pihak sekolah, orang tua siswa, serta program pemerintah sangat penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua peserta didik," kata Hetifah.
Praktik bullying di sekolah tidak hanya menyebabkan trauma psikologis korban, tetapi juga bisa membawa konsekuensi serius lainnya. Sebagai contoh, seperti ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta beberapa hari yang lalu. Pada saat itu, terduga pelaku adalah seorang siswa kelas XII yang dikenal pendiam dan memiliki ketertarikan yang berbeda dari siswa-siswa lainnya.
Menurut salah satu siswa SMAN 72 Jakarta, Zaki Arkan, terduga pelaku tersebut merupakan seorang siswa yang melakukan perundungan terhadap rekan-rekannya. "Siswa kelas XII itu katanya dari kelas XI selalu suka menyendiri," kata Zaki kepada reporter Tirto.
Dengan mencegah praktik bullying di sekolah, kita bisa mengurangi risiko bahwa korban menjadi balas dendam dan membawa konsekuensi serius lainnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk bekerja sama dalam mencegah bullying di sekolah.
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menekankan pentingnya mencegah praktik bullying di sekolah karena bisa menyebabkan dampak psikologis yang serius. Menurutnya, korban bullying bisa mengalami trauma yang ekstrem dan mendorong tindakan balas dendam yang tidak rasional.
"Sekolah harus menjadi tempat yang aman, nyaman, dan membentuk karakter positif bagi siswa," kata Hetifah. "Tapi, seringkali sekolah malah melahirkan trauma bagi peserta didik."
Hetifah menekankan kepentingan pihak sekolah dalam mencegah bullying dengan membuat prosedur pelaporan yang aman bagi siswa dan meningkatkan peran guru dalam mengidentifikasi dan menangani kasus. Ia juga mengatakan bahwa orang tua memiliki peran kritis dalam menciptakan komunikasi terbuka dengan anak, memantau perilaku mereka, dan menanamkan nilai-nilai karakter yang kuat.
"Kerja sama antara pihak sekolah, orang tua siswa, serta program pemerintah sangat penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua peserta didik," kata Hetifah.
Praktik bullying di sekolah tidak hanya menyebabkan trauma psikologis korban, tetapi juga bisa membawa konsekuensi serius lainnya. Sebagai contoh, seperti ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakarta beberapa hari yang lalu. Pada saat itu, terduga pelaku adalah seorang siswa kelas XII yang dikenal pendiam dan memiliki ketertarikan yang berbeda dari siswa-siswa lainnya.
Menurut salah satu siswa SMAN 72 Jakarta, Zaki Arkan, terduga pelaku tersebut merupakan seorang siswa yang melakukan perundungan terhadap rekan-rekannya. "Siswa kelas XII itu katanya dari kelas XI selalu suka menyendiri," kata Zaki kepada reporter Tirto.
Dengan mencegah praktik bullying di sekolah, kita bisa mengurangi risiko bahwa korban menjadi balas dendam dan membawa konsekuensi serius lainnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk bekerja sama dalam mencegah bullying di sekolah.