Sekarang ini terus menambah, kasus bunuh diri di kalangan pelajar atau usia anak remaja semakin melengangkan kembali hati orang tua. Banyak yang mengalami tekanan dan kegagalan dalam proses belajar di sekolah. Tak jarang dari dinding kelas sampai pintu rumah. Pada satu waktu, ada dua kasus bunuh diri di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Masing-masing di salah satu di antaranya terjadi di lingkungan sekolah ketika aktivitas belajar berlangsung. Di sawahlunto, Sumatera Barat terdapat seorang siswa SMP yang menimpa bunuh diri saat izin keluar di tengah-tengah jam pelajaran itu. Dalam dua minggu lalu juga terjadi di lingkungan sekolah. Sebagai buktinya kasusnya terjadi ketika ada kegiatan belajar sambil berolahraga.
Sementara itu, di Cianjur dan Sukabumi, dua orang anak dilakukan bunuh diri. Di Cianjur, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun menimpa bunuh diri saat berada di rumah. Sedangkan di Sukabumi, seorang siswi SMP ditemukan tak bernyawa di rumahnya.
Kata Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak yang berlatih di bidang keselamatan anak, terus menambahnya kasus bunuh diri anak bukanlah individu atau keluarga kecil semata. Melainkan, merupakan tanda-tanda lemahnya sosial dari negara kita dalam memberikan kesehatan mental kepada remaja.
"Kita tidak berbicara tentang keselamatan anak remaja seperti hal ini," kata Lisda dalam pernyataannya kepada Tirto di Selasa (4/11/2025).
Jika sistem dukungan yang baik terus membutuhkan banyak kemajuan, maka masa remaja pasti akan menjadi rentan.
Karena, ada peningkatan teknologi dan kegiatan-kegiatan digital yang muncul dari luar lingkungan sekolah. Menjadi sumber tekanan bagi anak-anak di kalangan pelajar.
Kata Lisda, saat ini banyak orang dewasa yang bermasalah dalam menghadapi remaja yang sedang berubah. Misalnya, karena perbedaan yang terlalu cepat dalam pengalaman emosi dan identitas remaja.
Menurut dia, tekanan sosial seperti halnya ekspektasi lingkungan dan kegiatan di akademik juga mempengaruhi emosi dari seorang remaja. Dalam menghadapi hal ini, remaja harus dimulai dari pemahaman diri sendiri. Menjadi lebih percaya diri dalam berpikir rasional.
Kata Lisda, "Ketika masa pencarian jati diri ini, emosi berkembang lebih cepat daripada berpikir rasional."
Pada data survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dikatakan bahwa 61 persen dari anak remaja mengalami depresi. Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2017 ada 3,9 persen remaja Indonesia yang melakukan percobaan bunuh diri.
Pada data Pusiknas Polri, di 2024 kasus bunuh diri mencapai 1.105. Sedangkan di tahun sebelumnya jumlah bunuh diri mencapai 1.288.
Sementara itu, di Cianjur dan Sukabumi, dua orang anak dilakukan bunuh diri. Di Cianjur, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun menimpa bunuh diri saat berada di rumah. Sedangkan di Sukabumi, seorang siswi SMP ditemukan tak bernyawa di rumahnya.
Kata Lisda Sundari, Ketua Yayasan Lentera Anak yang berlatih di bidang keselamatan anak, terus menambahnya kasus bunuh diri anak bukanlah individu atau keluarga kecil semata. Melainkan, merupakan tanda-tanda lemahnya sosial dari negara kita dalam memberikan kesehatan mental kepada remaja.
"Kita tidak berbicara tentang keselamatan anak remaja seperti hal ini," kata Lisda dalam pernyataannya kepada Tirto di Selasa (4/11/2025).
Jika sistem dukungan yang baik terus membutuhkan banyak kemajuan, maka masa remaja pasti akan menjadi rentan.
Karena, ada peningkatan teknologi dan kegiatan-kegiatan digital yang muncul dari luar lingkungan sekolah. Menjadi sumber tekanan bagi anak-anak di kalangan pelajar.
Kata Lisda, saat ini banyak orang dewasa yang bermasalah dalam menghadapi remaja yang sedang berubah. Misalnya, karena perbedaan yang terlalu cepat dalam pengalaman emosi dan identitas remaja.
Menurut dia, tekanan sosial seperti halnya ekspektasi lingkungan dan kegiatan di akademik juga mempengaruhi emosi dari seorang remaja. Dalam menghadapi hal ini, remaja harus dimulai dari pemahaman diri sendiri. Menjadi lebih percaya diri dalam berpikir rasional.
Kata Lisda, "Ketika masa pencarian jati diri ini, emosi berkembang lebih cepat daripada berpikir rasional."
Pada data survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dikatakan bahwa 61 persen dari anak remaja mengalami depresi. Sedangkan menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2017 ada 3,9 persen remaja Indonesia yang melakukan percobaan bunuh diri.
Pada data Pusiknas Polri, di 2024 kasus bunuh diri mencapai 1.105. Sedangkan di tahun sebelumnya jumlah bunuh diri mencapai 1.288.