KPK Periksa Mantan Kepala PPH Kementerian Pertanian terkait Kasus Korupsi Pengadaan Sarana Fasilitas Pengolahan Karet.
Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, mengenai Dedi Junaedi, mantan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP) Kementerian Pertanian. Namun, Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK belum menjelaskan materi pemeriksaan yang akan digali dari Dedi.
Selain Dedi, mantan Direktur Perlindungan Perkebunan Kementan Ardi Praptono juga memanggil sebagai saksi. Namun, status kehadirannya dan materi pemeriksaannya belum dikonfirmasi.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Yudi Wahyudin, PNS Kementerian Pertanian, sebagai tersangka. Selain itu, 8 orang lainnya dilarang bepergian ke luar negeri terkait kasus ini.
KPK juga menyita sejumlah uang, catatan, dan barang bukti elektronik (BBE) yang berkaitan dengan korupsi ini. Namun, asal usul aset tersebut belum dikonfirmasi oleh KPK.
Korupsi ini dimulai dari pihak Kementerian Pertanian yang melakukan pembelian asam untuk mengentalkan karet. Dalam proses pembelian, diduga terjadi penggelembungan harga atau mark-up yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp75 miliar.
Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, mengenai Dedi Junaedi, mantan Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP) Kementerian Pertanian. Namun, Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK belum menjelaskan materi pemeriksaan yang akan digali dari Dedi.
Selain Dedi, mantan Direktur Perlindungan Perkebunan Kementan Ardi Praptono juga memanggil sebagai saksi. Namun, status kehadirannya dan materi pemeriksaannya belum dikonfirmasi.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan Yudi Wahyudin, PNS Kementerian Pertanian, sebagai tersangka. Selain itu, 8 orang lainnya dilarang bepergian ke luar negeri terkait kasus ini.
KPK juga menyita sejumlah uang, catatan, dan barang bukti elektronik (BBE) yang berkaitan dengan korupsi ini. Namun, asal usul aset tersebut belum dikonfirmasi oleh KPK.
Korupsi ini dimulai dari pihak Kementerian Pertanian yang melakukan pembelian asam untuk mengentalkan karet. Dalam proses pembelian, diduga terjadi penggelembungan harga atau mark-up yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp75 miliar.