KPK Buka Penjelasan tentang Uang Rp100 M di Kasus Haji, Jangan Dilihat Sebagai Kerugian Negara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkapkan penjelasan terkait kasus dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tambahan. Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, pengembalian uang Rp100 miliar yang disita oleh KPK bukan merupakan kerugian negara, melainkan uang jemaah.
Dalam kasus ini, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara dan pihak lain dalam pembagian kuota haji tambahan membuat jumlah kuota yang dikelola Kementerian Agama menjadi lebih rendah daripada semestinya. Kuota haji khusus, di sisi lain, meningkat secara signifikan.
"Kuota-kuota haji khusus itu bermula dari adanya diskresi pembagian kuota tersebut," kata Budi Prasetyo. "Kemudian dalam perkembangan penyidikannya, ditemukan fakta-fakta adanya dugaan aliran uang dari para PIHK ke oknum di Kemenag dengan berbagai modus seperti uang percepatan dan lainnya."
Keuangan negara, menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Namun, dalam kasus ini, KPK masih membutuhkan waktu untuk menuntaskan penanganan kasus karena kuota haji tambahan melibatkan ribuan travel dan uang sudah mengalir ke banyak pihak.
"KPK bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menelusuri aliran uang dalam kasus ini," kata Budi Prasetyo. "Berdasarkan perhitungan awal KPK, ditemukan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan tahun 2023-2024 mencapai Rp1 triliun lebih."
KPK sudah mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Mereka adalah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, staf khususnya Ishfah Abidal Aziz, dan pemilik agen perjalanan Maktour Travel, Fuad Hasan Masyhur.
Dalam keseluruhan, KPK masih menuntaskan penanganan kasus ini untuk memastikan bahwa keuangan negara tidak terkena dampak dari dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tambahan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengungkapkan penjelasan terkait kasus dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tambahan. Menurut Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, pengembalian uang Rp100 miliar yang disita oleh KPK bukan merupakan kerugian negara, melainkan uang jemaah.
Dalam kasus ini, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara dan pihak lain dalam pembagian kuota haji tambahan membuat jumlah kuota yang dikelola Kementerian Agama menjadi lebih rendah daripada semestinya. Kuota haji khusus, di sisi lain, meningkat secara signifikan.
"Kuota-kuota haji khusus itu bermula dari adanya diskresi pembagian kuota tersebut," kata Budi Prasetyo. "Kemudian dalam perkembangan penyidikannya, ditemukan fakta-fakta adanya dugaan aliran uang dari para PIHK ke oknum di Kemenag dengan berbagai modus seperti uang percepatan dan lainnya."
Keuangan negara, menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003, meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang. Namun, dalam kasus ini, KPK masih membutuhkan waktu untuk menuntaskan penanganan kasus karena kuota haji tambahan melibatkan ribuan travel dan uang sudah mengalir ke banyak pihak.
"KPK bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menelusuri aliran uang dalam kasus ini," kata Budi Prasetyo. "Berdasarkan perhitungan awal KPK, ditemukan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan tahun 2023-2024 mencapai Rp1 triliun lebih."
KPK sudah mencegah tiga orang untuk bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Mereka adalah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, staf khususnya Ishfah Abidal Aziz, dan pemilik agen perjalanan Maktour Travel, Fuad Hasan Masyhur.
Dalam keseluruhan, KPK masih menuntaskan penanganan kasus ini untuk memastikan bahwa keuangan negara tidak terkena dampak dari dugaan korupsi dalam pembagian kuota haji tambahan.