Pekerjaan kekerasan dan perundungan yang dilakukan oleh para siswa SMPN 19 Tangerang Selatan dan SMAN 72 Jakarta, kini memunculkan berbagai aspek yang perlu dibahas dan diselesaikan. Kekerasan yang dihadapi oleh anak-anak di Indonesia saat ini merupakan fenomena yang sangat serius, sehingga pemerintah dan lembaga pendidik harus menyadari bahwa perbedaan respons antara Generasi Alfa dan Gen Z tidak hanya berlaku pada korban bullying tetapi juga terlihat dalam cara mereka berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya.
Pengawasan yang lemah dan adanya budaya kekerasan di sekolah merupakan dua faktor utama yang menyebabkan kasus-kasus kekerasan dan dugaan praktik perundungan alias bullying ini terus marak. Di mana, banyak siswa masih mengalami bullying dalam bentuk verbal yang mencakup ejekan, hinaan, panggilan nama tertentu, dan komentar yang merendahkan citra korban.
Sementara itu, survei baru-baru ini dilakukan oleh KPAI bersama Jakpat tentang pengetahuan dan pengalaman pelajar di Indonesia terkait bullying menunjukkan bahwa mayoritas responden mengaku telah mengalami kekerasan. Hasilnya hanya 11,2 persen siswa yang tidak pernah melihat peristiwa bullying.
Budaya ini bisa terjadi karena masih ada relasi kuasa antar-anak di sekolah dan pengawasan yang lemah dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan. Siswa juga perlu bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri, sedangkan keluarga dan lembaga pendidik memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencegah bullying di sekolah.
KPAI pun menyatakan bahwa peluang pembentukan TPPK di sekolah sudah terlambat. Karena hanya menjadi formalitas saja, sehingga tidak dapat mengatasi pengawasan yang lemah dan adanya budaya kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan.
Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa peraturan yang dianggap baru untuk mencegah bullying sudah ada. Namun, terkadang hanya menjadi poin-poin saja, karena tidak ada pelaksanaan yang efektif dan tidak ada konsekuensi hukum bagi pelaku kekerasan tersebut.
Pengawasan yang lemah dan adanya budaya kekerasan di sekolah merupakan dua faktor utama yang menyebabkan kasus-kasus kekerasan dan dugaan praktik perundungan alias bullying ini terus marak. Di mana, banyak siswa masih mengalami bullying dalam bentuk verbal yang mencakup ejekan, hinaan, panggilan nama tertentu, dan komentar yang merendahkan citra korban.
Sementara itu, survei baru-baru ini dilakukan oleh KPAI bersama Jakpat tentang pengetahuan dan pengalaman pelajar di Indonesia terkait bullying menunjukkan bahwa mayoritas responden mengaku telah mengalami kekerasan. Hasilnya hanya 11,2 persen siswa yang tidak pernah melihat peristiwa bullying.
Budaya ini bisa terjadi karena masih ada relasi kuasa antar-anak di sekolah dan pengawasan yang lemah dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan. Siswa juga perlu bertanggung jawab atas perilaku mereka sendiri, sedangkan keluarga dan lembaga pendidik memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk mencegah bullying di sekolah.
KPAI pun menyatakan bahwa peluang pembentukan TPPK di sekolah sudah terlambat. Karena hanya menjadi formalitas saja, sehingga tidak dapat mengatasi pengawasan yang lemah dan adanya budaya kekerasan dalam lingkungan satuan pendidikan.
Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa peraturan yang dianggap baru untuk mencegah bullying sudah ada. Namun, terkadang hanya menjadi poin-poin saja, karena tidak ada pelaksanaan yang efektif dan tidak ada konsekuensi hukum bagi pelaku kekerasan tersebut.