Pemprov DKI Jakarta Bekerja Meningkatkan Perlindungan Anak di Media Sosial, KPAI Mendukung
Sebagai komisioner KPAI yang mengampu sub klaster anak korban pornografi dan cybercrime, Kawiyan menekankan pentingnya langkah pembatasan konten media sosial untuk anak. Ia menyatakan mendukung penuh rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan pembatasan dan membuat regulasi khusus terhadap konten berbahaya di media sosial.
Kawiyan menjelaskan bahwa langkah ini diperlukan sebagai respons atas kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara, yang melibatkan siswa sebagai terduga pelaku karena terpengaruh oleh konten berbahaya di media sosial. Kasus tersebut menimbulkan dampak psikologis yang serius kepada anak-anak, termasuk luka fisik dan depresi.
"Kasus SMAN 72 Jakarta mengakibatkan 96 anak mengalami luka fisik dan dampak psikologis yang cukup serius. Lebih dari itu, semua siswa tersebut juga ingat menangani dampak psikologis, depresi dan ketakutan," kata Kawiyan.
Ia menekankan bahwa mandat perlindungan anak di ranah digital ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP Tunas. Kawiyan menjelaskan bahwa PP Tunas berisi sejumlah kewajiban, tanggung jawab, dan sanksi bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) atau platform media sosial.
"PP Tunas dibuat dengan tujuan agar PSE memastikan setiap produk, layanan dan fitur yang dibuat memberikan perlindungan setiap anak yang mengakses atau menggunakannya," ungkap Kawiyan.
Selain mendorong Pemprov DKI Jakarta, Kawiyan juga meminta guru di sekolah untuk ikut melindungi anak dengan bahaya pengaruh digital. Ia menyebut hal yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, seperti pembatasan screen time sesuai usia anak, pembatasan dalam berbagi informasi pribadi, pembatasan transaksi digital, dan bekerja sama dengan orang tua dalam membuat aturan disiplina penggunaan perangkat gawai kepada anak.
"Edukasi digital tersebut harus dilakukan sejak dini sebelum anak memiliki ketergantungan atau kecanduan terhadap gadget dan media sosial," jelas Kawiyan.
Sebagai komisioner KPAI yang mengampu sub klaster anak korban pornografi dan cybercrime, Kawiyan menekankan pentingnya langkah pembatasan konten media sosial untuk anak. Ia menyatakan mendukung penuh rencana Pemprov DKI Jakarta untuk melakukan pembatasan dan membuat regulasi khusus terhadap konten berbahaya di media sosial.
Kawiyan menjelaskan bahwa langkah ini diperlukan sebagai respons atas kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta Utara, yang melibatkan siswa sebagai terduga pelaku karena terpengaruh oleh konten berbahaya di media sosial. Kasus tersebut menimbulkan dampak psikologis yang serius kepada anak-anak, termasuk luka fisik dan depresi.
"Kasus SMAN 72 Jakarta mengakibatkan 96 anak mengalami luka fisik dan dampak psikologis yang cukup serius. Lebih dari itu, semua siswa tersebut juga ingat menangani dampak psikologis, depresi dan ketakutan," kata Kawiyan.
Ia menekankan bahwa mandat perlindungan anak di ranah digital ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP Tunas. Kawiyan menjelaskan bahwa PP Tunas berisi sejumlah kewajiban, tanggung jawab, dan sanksi bagi penyelenggara sistem elektronik (PSE) atau platform media sosial.
"PP Tunas dibuat dengan tujuan agar PSE memastikan setiap produk, layanan dan fitur yang dibuat memberikan perlindungan setiap anak yang mengakses atau menggunakannya," ungkap Kawiyan.
Selain mendorong Pemprov DKI Jakarta, Kawiyan juga meminta guru di sekolah untuk ikut melindungi anak dengan bahaya pengaruh digital. Ia menyebut hal yang bisa dilakukan oleh pihak sekolah, seperti pembatasan screen time sesuai usia anak, pembatasan dalam berbagi informasi pribadi, pembatasan transaksi digital, dan bekerja sama dengan orang tua dalam membuat aturan disiplina penggunaan perangkat gawai kepada anak.
"Edukasi digital tersebut harus dilakukan sejak dini sebelum anak memiliki ketergantungan atau kecanduan terhadap gadget dan media sosial," jelas Kawiyan.