Konferensi Musik Indonesia 2025, bukan hanya konferensi musisi Indonesia yang sedang menggulai permasalahan industri, tapi konferensi yang mencoba menemukan solusi bersama. Meski banyak pendapat berbeda, para peserta dan narasumber tetap memiliki harapan untuk industri musik yang sehat dan baik.
Ternyata, di balik kejengkelan dari resistensi dari kalangan musisi pun terdapat tanda positif. Jika mereka yang absen dengan sengaja mau mengubah pandangannya, itu justru tanda acara ini mendapat perhatian. Politik adalah bagian dari industri, kadang tak bisa dihindari.
Sejak awal, banyak peserta datang dengan skeptisisme. Tapi mereka tetap hadir, memasang "kuda-kuda" untuk menguji regulator di tiap panel. Ada yang berhasil menyampaikan aspirasi, ada yang tidak. Di luar sesi, diskusi tetap sengit. Suasana dan atmosfer konferensi terasa hidup.
Meski tema dan narasumber disusun rapi, tak semuanya memuaskan. Ada juga pembicara yang tampil tanpa substansi. Tapi mari dimaklumi: begitulah prosesnya. Kita tetap perlu fokus pada hal yang lebih penting.
Seorang kawan yang lama memperhatikan musik Indonesia Timur sempat berkata di sesi penutup, "Yang kurang dari kita itu adalah memperhatikan. Karena banyak yang hanya mengambil manisnya saja." Sudah malam, wajah para peserta letih. Banyak yang mengangguk setuju.
Di antara segera-sigeri diskusi di ruang, ada tiga mesin yang bekerja. Mesin pertama: peserta bergaya lama, dari organisasi bersejarah yang pernah berjaya di industri musik. Mereka paling vokal di setiap sesi, memberi tanggapan dan saran.
Mesin kedua: mereka yang tak berafiliasi, tapi sudah paham cara kerja industri modern. Terbiasa mengambil keputusan berbasis data, mengelola bisnis musik secara efektif.
Mesin ketiga: kelompok baru yang masih menyerap pengetahuan, belajar dari sesi dan obrolan di luar forum, entah sambil "sebatang" atau makan bersama.
Untuk yang bermesin pertama, mari kita beri apresiasi: mereka bagian penting dari perjalanan industri. Untuk yang bermesin kedua, semoga terus semangat, kritis, dan berani mengambil langkah strategis demi iklim musik yang sehat.
Dan bagi pemilik mesin ketiga, mereka inilah yang kelak membawa musik Indonesia menjadi soft power yang nyata, bukan sekadar bisnis kaleng-kaleng. Mereka akan terus menularkan semangat dan mencurahkan tenaga untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh pelaku musik: musisi, pencipta lagu, teknisi, dan tim produksi.
Konferensi Musik Indonesia adalah salah satu ikhtiar bersama para pegiat musik. Melibatkan banyak kementerian dan lembaga, ini menjadi sinyal bahwa musik kini dipandang sebagai sektor strategis. Jika dikelola dengan serius, nilainya bisa melebihi sumber daya alam, seperti yang ditunjukkan para narasumber lewat data-data mereka.
Dalam dua hari yang padat, dari pagi hingga malam, lahir beragam rekomendasi dari ruang-ruang diskusi. Semua mewakili suara dan pemikiran peserta. Ini baru langkah awal.
Ternyata, di balik kejengkelan dari resistensi dari kalangan musisi pun terdapat tanda positif. Jika mereka yang absen dengan sengaja mau mengubah pandangannya, itu justru tanda acara ini mendapat perhatian. Politik adalah bagian dari industri, kadang tak bisa dihindari.
Sejak awal, banyak peserta datang dengan skeptisisme. Tapi mereka tetap hadir, memasang "kuda-kuda" untuk menguji regulator di tiap panel. Ada yang berhasil menyampaikan aspirasi, ada yang tidak. Di luar sesi, diskusi tetap sengit. Suasana dan atmosfer konferensi terasa hidup.
Meski tema dan narasumber disusun rapi, tak semuanya memuaskan. Ada juga pembicara yang tampil tanpa substansi. Tapi mari dimaklumi: begitulah prosesnya. Kita tetap perlu fokus pada hal yang lebih penting.
Seorang kawan yang lama memperhatikan musik Indonesia Timur sempat berkata di sesi penutup, "Yang kurang dari kita itu adalah memperhatikan. Karena banyak yang hanya mengambil manisnya saja." Sudah malam, wajah para peserta letih. Banyak yang mengangguk setuju.
Di antara segera-sigeri diskusi di ruang, ada tiga mesin yang bekerja. Mesin pertama: peserta bergaya lama, dari organisasi bersejarah yang pernah berjaya di industri musik. Mereka paling vokal di setiap sesi, memberi tanggapan dan saran.
Mesin kedua: mereka yang tak berafiliasi, tapi sudah paham cara kerja industri modern. Terbiasa mengambil keputusan berbasis data, mengelola bisnis musik secara efektif.
Mesin ketiga: kelompok baru yang masih menyerap pengetahuan, belajar dari sesi dan obrolan di luar forum, entah sambil "sebatang" atau makan bersama.
Untuk yang bermesin pertama, mari kita beri apresiasi: mereka bagian penting dari perjalanan industri. Untuk yang bermesin kedua, semoga terus semangat, kritis, dan berani mengambil langkah strategis demi iklim musik yang sehat.
Dan bagi pemilik mesin ketiga, mereka inilah yang kelak membawa musik Indonesia menjadi soft power yang nyata, bukan sekadar bisnis kaleng-kaleng. Mereka akan terus menularkan semangat dan mencurahkan tenaga untuk keadilan dan kesejahteraan seluruh pelaku musik: musisi, pencipta lagu, teknisi, dan tim produksi.
Konferensi Musik Indonesia adalah salah satu ikhtiar bersama para pegiat musik. Melibatkan banyak kementerian dan lembaga, ini menjadi sinyal bahwa musik kini dipandang sebagai sektor strategis. Jika dikelola dengan serius, nilainya bisa melebihi sumber daya alam, seperti yang ditunjukkan para narasumber lewat data-data mereka.
Dalam dua hari yang padat, dari pagi hingga malam, lahir beragam rekomendasi dari ruang-ruang diskusi. Semua mewakili suara dan pemikiran peserta. Ini baru langkah awal.