Selama ini banyak orang yang menganggap peningkatan berat badan hanya akibat makan terlalu banyak dan kurang bergerak. Namun, kenyataannya jauh lebih kompleks. Ada banyak faktor internal seperti kondisi biologis tubuh dan eksternal, seperti lingkungan yang mempengaruhi hubungan seseorang dengan makanan.
Penyebab utama peningkatan berat badan bisa dimulai dari kondisi biologis tubuh. Tubuh dan otak telah berevolusi untuk melindungi diri dari kehilangan berat badan, sehingga ketika kita mulai kehilangan berat, otak akan bereaksi seperti seseorang sedang dalam bahaya. Hormon lapar melonjak, nafsu makan meningkat, dan tubuh membakar lebih sedikit kalori dibandingkan biasanya. Hal ini berkembang dari manusia purba yang masih rentan terhadap kelaparan karena kekurangan makanan. Lembu dianggap sebagai cara bertahan hidup, sehingga tubuh pun beradaptasi sehingga tidak kehilangan zat itu terlalu banyak.
Selain itu, otak manusia juga selalu mengingat berat badan tertinggi yang pernah kita capai. Otak menganggap kenaikan berat badan sebagai "baru normal" yang terus-menerus diperbarui olehnya. Ini adalah alasan mengapa menurunkan berat badan sulit dilakukan, tetapi menjadi gemuk seperti sediakala sangat mudah dilakukan.
Saat berat badan turun melewati batas "baru normal", otak akan merespons dengan meningkatkan nafsu makan dan menurunkan level penggunaan energi. Mekanisme ini bekerja melalui proses komunikasi yang kompleks antara otak, hormon, dan organ-organ seperti usus, hati, pankreas bahkan jaringan lemak.
Selain itu, ada faktor genetik yang juga berpengaruh dalam menentukan berat badan seseorang. Berat badan satu kelompok partisipan hanya turun kurang 5 persen, sehingga tidak dianggap berarti secara klinis. Salah satu alasannya adalah faktor genetik. Studi Harvard Medical School mengungkap betapa kuatnya faktor genetik dalam menentukan berat badan seseorang.
Faktor lingkungan juga sangat berpengaruh dalam menciptakan masyarakat yang rentan mengalami obesitas. Lingkungan yang dimaksud sangat luas, mulai dari jenis makanan yang tersedia, tata kota, kebijakan pemerintah hingga cara kita dididik pada masa kecil.
Jenis makanan yang tersedia saat ini adalah makanan ultra-processed tinggi kalori yang bisa dibeli dengan harga lebih murah dibanding makanan sehat. Itulah alasan menurut riset National Library of Medicine, orang dari keluarga miskinlah yang lebih rentan mengalami obesitas. Setidaknya begitulah yang terjadi di Amerika Serikat.
Pemasaran makanan tidak sehat juga mempengaruhi peningkatan berat badan. Anak-anak kecil biasanya menjadi korban, karena mereka lantas menganggap makanan tidak sehat alias junk food itu lebih lezat dibandingkan dengan makanan sehat yang sudah disiapkan orang tua mereka masing-masing di rumah.
Desain tata kota juga berpengaruh dalam meningkatkan peningkatan berat badan. Riset Stanford University menyebut Indonesia sebagai negara paling malas jalan kaki, tapi riset itu gagal menjelaskan apa penyebabnya. Tengok saja trotoar-trotoar yang tersedia, layakkah trotoar-trotoar itu digunakan para pejalan kaki? Sistem transportasi umum yang kurang memadai dan terintegrasi juga membuat orang cenderung lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dan konsekuensinya, porsi jalan kaki pun jadi sangat minimal.
Minimnya ruang terbuka hijau di DKI Jakarta hanya 5,2 persen dari total luas wilayah juga membuat orang tidak memiliki ruang untuk beraktivitas fisik. Persoalan tata kota itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan. Kendati upaya untuk meningkatkan jangkauan dan integrasi transportasi umum terus dilakukan, hasilnya belum cukup. Apalagi, inisiatif untuk membuat kota ramah pejalan kaki juga belum terlihat di mana pun di Indonesia, kecuali mungkin di distrik bisnis Jakarta.
Satu persoalan lain yang berkaitan dengan kebijakan adalah polusi. Studi BMC Public Health menyebut bahwa polutan di udara bisa memengaruhi metabolisme tubuh. Selain itu, kualitas udara membuat orang cenderung memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam ruangan dan tidak banyak melakukan aktivitas fisik.
Tidak semua yang mengalami penurunan berat badan memiliki kendali atas tubuhnya. Semua yang dituliskan di sini hanya menjelaskan betapa kompleksnya perkara obesitas. Mulai dari otak warisan nenek moyang, lemak yang diwariskan orang tua, sampai minimnya infrastruktur untuk beraktivitas fisik, semua berpengaruh pada kondisi tubuh seseorang.
Penyebab utama peningkatan berat badan bisa dimulai dari kondisi biologis tubuh. Tubuh dan otak telah berevolusi untuk melindungi diri dari kehilangan berat badan, sehingga ketika kita mulai kehilangan berat, otak akan bereaksi seperti seseorang sedang dalam bahaya. Hormon lapar melonjak, nafsu makan meningkat, dan tubuh membakar lebih sedikit kalori dibandingkan biasanya. Hal ini berkembang dari manusia purba yang masih rentan terhadap kelaparan karena kekurangan makanan. Lembu dianggap sebagai cara bertahan hidup, sehingga tubuh pun beradaptasi sehingga tidak kehilangan zat itu terlalu banyak.
Selain itu, otak manusia juga selalu mengingat berat badan tertinggi yang pernah kita capai. Otak menganggap kenaikan berat badan sebagai "baru normal" yang terus-menerus diperbarui olehnya. Ini adalah alasan mengapa menurunkan berat badan sulit dilakukan, tetapi menjadi gemuk seperti sediakala sangat mudah dilakukan.
Saat berat badan turun melewati batas "baru normal", otak akan merespons dengan meningkatkan nafsu makan dan menurunkan level penggunaan energi. Mekanisme ini bekerja melalui proses komunikasi yang kompleks antara otak, hormon, dan organ-organ seperti usus, hati, pankreas bahkan jaringan lemak.
Selain itu, ada faktor genetik yang juga berpengaruh dalam menentukan berat badan seseorang. Berat badan satu kelompok partisipan hanya turun kurang 5 persen, sehingga tidak dianggap berarti secara klinis. Salah satu alasannya adalah faktor genetik. Studi Harvard Medical School mengungkap betapa kuatnya faktor genetik dalam menentukan berat badan seseorang.
Faktor lingkungan juga sangat berpengaruh dalam menciptakan masyarakat yang rentan mengalami obesitas. Lingkungan yang dimaksud sangat luas, mulai dari jenis makanan yang tersedia, tata kota, kebijakan pemerintah hingga cara kita dididik pada masa kecil.
Jenis makanan yang tersedia saat ini adalah makanan ultra-processed tinggi kalori yang bisa dibeli dengan harga lebih murah dibanding makanan sehat. Itulah alasan menurut riset National Library of Medicine, orang dari keluarga miskinlah yang lebih rentan mengalami obesitas. Setidaknya begitulah yang terjadi di Amerika Serikat.
Pemasaran makanan tidak sehat juga mempengaruhi peningkatan berat badan. Anak-anak kecil biasanya menjadi korban, karena mereka lantas menganggap makanan tidak sehat alias junk food itu lebih lezat dibandingkan dengan makanan sehat yang sudah disiapkan orang tua mereka masing-masing di rumah.
Desain tata kota juga berpengaruh dalam meningkatkan peningkatan berat badan. Riset Stanford University menyebut Indonesia sebagai negara paling malas jalan kaki, tapi riset itu gagal menjelaskan apa penyebabnya. Tengok saja trotoar-trotoar yang tersedia, layakkah trotoar-trotoar itu digunakan para pejalan kaki? Sistem transportasi umum yang kurang memadai dan terintegrasi juga membuat orang cenderung lebih suka menggunakan kendaraan pribadi dan konsekuensinya, porsi jalan kaki pun jadi sangat minimal.
Minimnya ruang terbuka hijau di DKI Jakarta hanya 5,2 persen dari total luas wilayah juga membuat orang tidak memiliki ruang untuk beraktivitas fisik. Persoalan tata kota itu tidak bisa dilepaskan dari kebijakan. Kendati upaya untuk meningkatkan jangkauan dan integrasi transportasi umum terus dilakukan, hasilnya belum cukup. Apalagi, inisiatif untuk membuat kota ramah pejalan kaki juga belum terlihat di mana pun di Indonesia, kecuali mungkin di distrik bisnis Jakarta.
Satu persoalan lain yang berkaitan dengan kebijakan adalah polusi. Studi BMC Public Health menyebut bahwa polutan di udara bisa memengaruhi metabolisme tubuh. Selain itu, kualitas udara membuat orang cenderung memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam ruangan dan tidak banyak melakukan aktivitas fisik.
Tidak semua yang mengalami penurunan berat badan memiliki kendali atas tubuhnya. Semua yang dituliskan di sini hanya menjelaskan betapa kompleksnya perkara obesitas. Mulai dari otak warisan nenek moyang, lemak yang diwariskan orang tua, sampai minimnya infrastruktur untuk beraktivitas fisik, semua berpengaruh pada kondisi tubuh seseorang.