Ajoeba Wartabone, suara revolusi dari Indonesia Timur
================================================================================
Pada saat Republik Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, masa depan bangsa berada dalam situasi genting. Serangan militer Belanda, manuver diplomasi, dan strategi federalisme kolonial mengancam keutuhan negara. Namun, ada suara-suara dari daerah yang menopang keberlangsungan Republik. Salah satunya berasal dari Gorontalo: Ajoeba Wartabone.
Ajoeba Wartabone (1894โ1957) adalah pemimpin progresif yang menegaskan sikap antipecah-belah di Indonesia Timur. Dalam buku "Ajoeba Wartabone (1894โ1957): Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja", penulis menggambarkan kisah intelektual dan politik Ajoeba yang menjadi topik diskusi dalam Ubud Writers & Readers Festival 2025.
Dalam buku ini, Ajoeba menjadi peserta Konferensi Denpasar pada Desember 1946, sebuah forum yang digelar Belanda untuk menyusun sistem federal. Kehadiran Ajoeba menggambarkan sikap kritis terhadap upaya pecah-belah dan pentingnya menjaga kesatuan dari dalam struktur negara bagian.
Pada Sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1947 di Makassar, Ajoeba menyampaikan pernyataan yang kemudian menjadi ikonik: Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja. Ucapan ini menjadi simbol dukungan terhadap pemerintah Republik di Yogyakarta serta penolakan terhadap sistem federal bentukan kolonial.
Buku ini tidak hanya menghadirkan peristiwa sejarah, tetapi juga nilai, keberanian, dan keteguhan sikap yang menyalakan api persatuan pada masa awal Republik. Melalui buku ini, penulis memperluas wawasan publik tentang kontribusi daerah dan pembangunan berkeadilan.
Kisah Ajoeba Wartabone menjadi topik diskusi yang sangat penting dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025. Acara tersebut mengajak publik menengok kembali kontribusi daerah dalam pembentukan Indonesia modern, narasi yang jarang mendapat panggung nasional.
================================================================================
Pada saat Republik Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945, masa depan bangsa berada dalam situasi genting. Serangan militer Belanda, manuver diplomasi, dan strategi federalisme kolonial mengancam keutuhan negara. Namun, ada suara-suara dari daerah yang menopang keberlangsungan Republik. Salah satunya berasal dari Gorontalo: Ajoeba Wartabone.
Ajoeba Wartabone (1894โ1957) adalah pemimpin progresif yang menegaskan sikap antipecah-belah di Indonesia Timur. Dalam buku "Ajoeba Wartabone (1894โ1957): Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja", penulis menggambarkan kisah intelektual dan politik Ajoeba yang menjadi topik diskusi dalam Ubud Writers & Readers Festival 2025.
Dalam buku ini, Ajoeba menjadi peserta Konferensi Denpasar pada Desember 1946, sebuah forum yang digelar Belanda untuk menyusun sistem federal. Kehadiran Ajoeba menggambarkan sikap kritis terhadap upaya pecah-belah dan pentingnya menjaga kesatuan dari dalam struktur negara bagian.
Pada Sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1947 di Makassar, Ajoeba menyampaikan pernyataan yang kemudian menjadi ikonik: Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja. Ucapan ini menjadi simbol dukungan terhadap pemerintah Republik di Yogyakarta serta penolakan terhadap sistem federal bentukan kolonial.
Buku ini tidak hanya menghadirkan peristiwa sejarah, tetapi juga nilai, keberanian, dan keteguhan sikap yang menyalakan api persatuan pada masa awal Republik. Melalui buku ini, penulis memperluas wawasan publik tentang kontribusi daerah dan pembangunan berkeadilan.
Kisah Ajoeba Wartabone menjadi topik diskusi yang sangat penting dalam rangkaian Ubud Writers & Readers Festival 2025. Acara tersebut mengajak publik menengok kembali kontribusi daerah dalam pembentukan Indonesia modern, narasi yang jarang mendapat panggung nasional.