Ketika kita sedang membicarakan tentang hal-hal yang terjadi di Indonesia, tidak jarang ada perdebatan yang berkelanjutan. Hal itu juga salah satu dari faktor penyebab permasalahan bahasa daerah. Karena tidak hanya saja masih banyak sekali bahasa daerah yang dituturkan di tanah Air ini, tapi juga karena banyaknya persentase orang yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi sehari-hari.
Khusus di kalangan remaja dan dewasa muda, hal ini memang lebih ketat lagi. Karena mereka telah terbiasa dengan bahasa Indonesia hingga menjadi bahasa ibu, dan tidak ada lagi penuturan dari orang tua atau teman-temannya yang menggunakan bahasa daerah asalnya.
Sebagai contoh di Nusa Tenggara Barat (NTB), seorang penulis Ilda Karwayu bercerita tentang pergeseran bahasa ibu. Menurut dia, di era tahun 1990-2000 awal, para orangtua menjadikan Bahasa Sasak sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka. Namun kemudian generasi muda yang terkena pengaruh dari sekolah dan media sosial akhirnya tidak lagi menuturkan Bahasa Sasak.
Hal ini serupa juga di DKI Jakarta, yang merupakan wilayah dengan penuturan bahasa daerah di lingkungan keluarga paling rendah. Pada survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat hanya sekitar 4 persen masyarakat di Jakarta yang menggunakan bahasa daerah secara aktif dalam berkomunikasi.
Dari hal ini bisa kita lihat bahwa tidak semua masyarakat Indonesia mengakui pentingnya menggunakan bahasa daerah, bahkan pada saat ini penuturan bahasa daerah di kalangan generasi muda semakin menurun.
Khusus di kalangan remaja dan dewasa muda, hal ini memang lebih ketat lagi. Karena mereka telah terbiasa dengan bahasa Indonesia hingga menjadi bahasa ibu, dan tidak ada lagi penuturan dari orang tua atau teman-temannya yang menggunakan bahasa daerah asalnya.
Sebagai contoh di Nusa Tenggara Barat (NTB), seorang penulis Ilda Karwayu bercerita tentang pergeseran bahasa ibu. Menurut dia, di era tahun 1990-2000 awal, para orangtua menjadikan Bahasa Sasak sebagai bahasa ibu bagi anak-anak mereka. Namun kemudian generasi muda yang terkena pengaruh dari sekolah dan media sosial akhirnya tidak lagi menuturkan Bahasa Sasak.
Hal ini serupa juga di DKI Jakarta, yang merupakan wilayah dengan penuturan bahasa daerah di lingkungan keluarga paling rendah. Pada survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat hanya sekitar 4 persen masyarakat di Jakarta yang menggunakan bahasa daerah secara aktif dalam berkomunikasi.
Dari hal ini bisa kita lihat bahwa tidak semua masyarakat Indonesia mengakui pentingnya menggunakan bahasa daerah, bahkan pada saat ini penuturan bahasa daerah di kalangan generasi muda semakin menurun.