Kemenkeu Ramal Pajak yang Hilang di 2025 Mencapai Rp530 T, Siapa Yang Harus Menghadapkannya?
Menurut Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, pajak yang hilang di Indonesia mencapai Rp530,3 triliun pada 2025. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yaitu Rp400,1 triliun pada 2024.
Sementara itu, pengaturan pajak yang tidak sesuai dan ketidakpatuhan wajib pajak juga menjadi penyebab utama dari peningkatan jumlah pajak yang hilang. Karena itulah, DJP mengingatkan bahwa kebijakan fiskal harus lebih terstruktur untuk mencegah insentif yang memberikan berbagai bentuk bantuan kepada wajib pajak.
Menurut Bimo, pengaturan pajak yang tidak sesuai dan ketidakpatuhan wajib pajak mencerminkan potensi pajak yang hilang dari dua komponen yaitu policy gap dan compliance gap. Policy gap mencerminkan potensi penerimaan yang hilang akibat keputusan fiskal pemerintah, sedangkan compliance gap menggambarkan kehilangan penerimaan yang muncul karena ketidakpatuhan wajib pajak.
Bimo menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara maju yang sepenuhnya bebas dari persoalan ini. Rata-rata tax gap negara maju itu sekitar 3,3 persen. Oleh karena itu, DJP harus meningkatkan strategi untuk mengatasi masalah ini.
DJP telah menyiapkan strategi komprehensif untuk mengurangi pengaturan pajak yang tidak sesuai dan ketidakpatuhan wajib pajak. Salah satu langkahnya adalah peningkatan kepatuhan melalui penegakan hukum yang terarah dan penerapan compliance risk management, sehingga pengawasan dapat dilakukan tanpa menambah beban bagi wajib pajak yang selama ini patuh.
Sementara itu, pengaturan edukatif untuk mengurangi ketidakpatuhan karena kurangnya pemahaman juga menjadi salah satu strategi kunci.
Menurut Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto, pajak yang hilang di Indonesia mencapai Rp530,3 triliun pada 2025. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya yaitu Rp400,1 triliun pada 2024.
Sementara itu, pengaturan pajak yang tidak sesuai dan ketidakpatuhan wajib pajak juga menjadi penyebab utama dari peningkatan jumlah pajak yang hilang. Karena itulah, DJP mengingatkan bahwa kebijakan fiskal harus lebih terstruktur untuk mencegah insentif yang memberikan berbagai bentuk bantuan kepada wajib pajak.
Menurut Bimo, pengaturan pajak yang tidak sesuai dan ketidakpatuhan wajib pajak mencerminkan potensi pajak yang hilang dari dua komponen yaitu policy gap dan compliance gap. Policy gap mencerminkan potensi penerimaan yang hilang akibat keputusan fiskal pemerintah, sedangkan compliance gap menggambarkan kehilangan penerimaan yang muncul karena ketidakpatuhan wajib pajak.
Bimo menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara maju yang sepenuhnya bebas dari persoalan ini. Rata-rata tax gap negara maju itu sekitar 3,3 persen. Oleh karena itu, DJP harus meningkatkan strategi untuk mengatasi masalah ini.
DJP telah menyiapkan strategi komprehensif untuk mengurangi pengaturan pajak yang tidak sesuai dan ketidakpatuhan wajib pajak. Salah satu langkahnya adalah peningkatan kepatuhan melalui penegakan hukum yang terarah dan penerapan compliance risk management, sehingga pengawasan dapat dilakukan tanpa menambah beban bagi wajib pajak yang selama ini patuh.
Sementara itu, pengaturan edukatif untuk mengurangi ketidakpatuhan karena kurangnya pemahaman juga menjadi salah satu strategi kunci.