"Partisipasi Pilihannya, Tapi Kebijaksanaannya Belum Terjelajahi"
Dalam pilkada tinggi yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, masyarakat secara garis besar telah menunjukkan partisipasi yang cukup tinggi. Banyak warga yang mengambil hak mereka untuk memilih calon kepala daerah baru. Namun, apakah kepartisipasian ini sebenarnya berubah menjadi bentuk konsultasi yang efektif dalam pembuatan kebijakan?
Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), total participasi pemilih pada beberapa provinsi telah mencapai angka yang cukup tinggi. Misalnya, dalam Pilkada Bupati di Jawa Barat, partisipasi pemilih mencapai 85%, sedangkan di daerah Istimewa Yogyakarta, rasio tersebut mencapai 78%.
Namun, apa yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kepartisipasian ini berubah menjadi bentuk konsultasi yang efektif dalam pembuatan kebijakan? Menurut beberapa ahli, masih terdapat kesan bahwa masyarakat hanya memilih calon kepala daerah karena alasan partai politik atau golongan tertentu, tanpa mempertimbangkan secara lebih luas tentang kebijaksanaan yang akan diambil oleh pemerintah baru.
"Kita lihat bahwa partisipasi ini sebenarnya sudah cukup tinggi, namun apakah itu benar-benar menjadi bentuk konsultasi yang efektif dalam pembuatan kebijakan?" kata Dr. Rini Soedarsono, ahli politik dari Universitas Indonesia. "Kita perlu mempertimbangkan bagaimana masyarakat memanfaatkan hak mereka untuk memberikan umpan balik pada calon kepala daerah."
Oleh karena itu, Kemendagri dan pemerintah setempat harus lebih berhati-hati dalam memastikan bahwa partisipasi pemilih ini tidak hanya sekedar ritual, tetapi menjadi bentuk konsultasi yang sebenarnya dapat membantu pembuatan kebijakan yang lebih baik.
Dalam pilkada tinggi yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia, masyarakat secara garis besar telah menunjukkan partisipasi yang cukup tinggi. Banyak warga yang mengambil hak mereka untuk memilih calon kepala daerah baru. Namun, apakah kepartisipasian ini sebenarnya berubah menjadi bentuk konsultasi yang efektif dalam pembuatan kebijakan?
Menurut data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), total participasi pemilih pada beberapa provinsi telah mencapai angka yang cukup tinggi. Misalnya, dalam Pilkada Bupati di Jawa Barat, partisipasi pemilih mencapai 85%, sedangkan di daerah Istimewa Yogyakarta, rasio tersebut mencapai 78%.
Namun, apa yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kepartisipasian ini berubah menjadi bentuk konsultasi yang efektif dalam pembuatan kebijakan? Menurut beberapa ahli, masih terdapat kesan bahwa masyarakat hanya memilih calon kepala daerah karena alasan partai politik atau golongan tertentu, tanpa mempertimbangkan secara lebih luas tentang kebijaksanaan yang akan diambil oleh pemerintah baru.
"Kita lihat bahwa partisipasi ini sebenarnya sudah cukup tinggi, namun apakah itu benar-benar menjadi bentuk konsultasi yang efektif dalam pembuatan kebijakan?" kata Dr. Rini Soedarsono, ahli politik dari Universitas Indonesia. "Kita perlu mempertimbangkan bagaimana masyarakat memanfaatkan hak mereka untuk memberikan umpan balik pada calon kepala daerah."
Oleh karena itu, Kemendagri dan pemerintah setempat harus lebih berhati-hati dalam memastikan bahwa partisipasi pemilih ini tidak hanya sekedar ritual, tetapi menjadi bentuk konsultasi yang sebenarnya dapat membantu pembuatan kebijakan yang lebih baik.