Bukan Kasus Guru di Luwu, Melainkan Kebijakan Pemerintah dan Politik Pendidikan Yang Tidak Bisa Diabaikan
Kasus pemberhentian guru di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang dilaporkan beberapa waktu lalu telah membawa perdebatan berat di masyarakat. Kasus ini menimbulkan kesadaran tentang keadaan tidak stabilnya keuangan sekolah dan pengelolaan sumber daya manusia yang tidak terpusat.
Sementara itu, yang dibicarakan dalam konteks kasus tersebut adalah permasalahan serius di bidang hukum keuangan negara. Kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah negeri di Indonesia yang melakukan pungutan kepada orang tua murid untuk membayar honor guru honorer yang tidak mendapatkan gaji.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 3 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggarannya tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Norma ini adalah koridor untuk memastikan setiap pengeluaran pemerintah harus memiliki pos anggaran yang jelas.
Kepala sekolah bertindak selaku pejabat yang tindakannya berakibat pada pengeluaran daerah yaitu melakukan perikatan dengan guru honorer. Guru honorer berperan sebagai supplier bagi pemerintah. Supplier dalam kacamata keuangan negara adalah pihak yang berhak menerima pembayaran dari APBN/APBD atas suatu beban, dapat berupa penyedia barang/jasa, pegawai, atau pihak lain yang menerima pembayaran atas transaksi pemerintah.
Sedangkan di balik langkah rehabilitasi Presiden Prabowo Subianto terdapat persoalan serius yang perlu dibahas secara lebih luas. Kasus ini bermula dari pungutan yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada orang tua murid untuk membayar honor guru honorer yang belum mendapatkan gaji.
Terdapat beberapa praktik yang harus dikoreksi dalam hal ini. Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, terdapat larangan bagi Komite Sekolah untuk melakukan Pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Masih dalam regulasi yang sama secara tegas terjadi pemisahan makna antara sumbangan, bantuan, dan pungutan.
Sumbangan Pendidikan dimaknai sebagai pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Sementara itu, Pungutan Pendidikan dimaknai sebagai penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Perbedaan signifikan antara pungutan dan sumbangan terletak pada sifat, jumlah, serta waktu pemberiannya. Pengecualian bisa diberikan bagi unit pemerintah dengan status sebagai BLU atau BLUD. Namun secara umum, praktik-praktik seperti ini masih sering terjadi di berbagai sekolah negeri di Indonesia.
Kasus ini seharusnya menjadi catatan bagi seluruh pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Pemerintah perlu memastikan bahwa rekrutmen guru honorer dilakukan secara terencana dan terpusat. Selanjutnya dalam hal terjadi kebutuhan pegawai nonASN agar dapat dipastikan bahwa anggaran untuk membayar pegawai telah tersedia sebelum terjadi perikatan antara sekolah dengan guru. Dan yang terakhir adanya dukungan pendanaan oleh pemda jika terjadi defisit biaya operasional.
Jika pembenahan tidak dilakukan, kasus ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak contoh yang terus berulang. Pihak yang dirugikan dalam hal tidak terjadi perbaikan tata kelola adalah orang tua/wali murid yang akan tergencet dengan berbagai pungutan di sekolah.
Perlu dipertimbangkan bahwa bantuan operasional pendidikan sebenarnya telah disediakan oleh pemerintah untuk membantu sekolah dalam menutup kebutuhan operasional. Namun, ada beberapa pembatasan yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya.
Meski ada alokasi hingga 40% untuk honor, hanya guru yang terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang dapat dibayar melalui skema tersebut. Guru honorer yang tidak tercatat otomatis berada di luar skema. Inilah salah satu pemicu munculnya pungutan khususnya jika sekolah memiliki pegawai yang berstatus nonASN dan tidak tercantum dalam database.
Dalam hal terjadi kebutuhan operasional sekolah lebih besar daripada dana bantuan operasional yang diterima maka terjadi kecenderungan untuk menarik pungutan melalui pelibatan Komite Sekolah.
Kasus pemberhentian guru di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan yang dilaporkan beberapa waktu lalu telah membawa perdebatan berat di masyarakat. Kasus ini menimbulkan kesadaran tentang keadaan tidak stabilnya keuangan sekolah dan pengelolaan sumber daya manusia yang tidak terpusat.
Sementara itu, yang dibicarakan dalam konteks kasus tersebut adalah permasalahan serius di bidang hukum keuangan negara. Kasus ini menunjukkan bahwa masih banyak sekolah negeri di Indonesia yang melakukan pungutan kepada orang tua murid untuk membayar honor guru honorer yang tidak mendapatkan gaji.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 3 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggarannya tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Norma ini adalah koridor untuk memastikan setiap pengeluaran pemerintah harus memiliki pos anggaran yang jelas.
Kepala sekolah bertindak selaku pejabat yang tindakannya berakibat pada pengeluaran daerah yaitu melakukan perikatan dengan guru honorer. Guru honorer berperan sebagai supplier bagi pemerintah. Supplier dalam kacamata keuangan negara adalah pihak yang berhak menerima pembayaran dari APBN/APBD atas suatu beban, dapat berupa penyedia barang/jasa, pegawai, atau pihak lain yang menerima pembayaran atas transaksi pemerintah.
Sedangkan di balik langkah rehabilitasi Presiden Prabowo Subianto terdapat persoalan serius yang perlu dibahas secara lebih luas. Kasus ini bermula dari pungutan yang dilakukan oleh kepala sekolah kepada orang tua murid untuk membayar honor guru honorer yang belum mendapatkan gaji.
Terdapat beberapa praktik yang harus dikoreksi dalam hal ini. Dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, terdapat larangan bagi Komite Sekolah untuk melakukan Pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Masih dalam regulasi yang sama secara tegas terjadi pemisahan makna antara sumbangan, bantuan, dan pungutan.
Sumbangan Pendidikan dimaknai sebagai pemberian berupa uang/barang/jasa oleh peserta didik, orangtua/walinya baik perseorangan maupun bersama-sama, masyarakat atau lembaga secara sukarela, dan tidak mengikat satuan pendidikan. Sementara itu, Pungutan Pendidikan dimaknai sebagai penarikan uang oleh Sekolah kepada peserta didik, orangtua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan.
Perbedaan signifikan antara pungutan dan sumbangan terletak pada sifat, jumlah, serta waktu pemberiannya. Pengecualian bisa diberikan bagi unit pemerintah dengan status sebagai BLU atau BLUD. Namun secara umum, praktik-praktik seperti ini masih sering terjadi di berbagai sekolah negeri di Indonesia.
Kasus ini seharusnya menjadi catatan bagi seluruh pengambil kebijakan, baik di pusat maupun daerah. Pemerintah perlu memastikan bahwa rekrutmen guru honorer dilakukan secara terencana dan terpusat. Selanjutnya dalam hal terjadi kebutuhan pegawai nonASN agar dapat dipastikan bahwa anggaran untuk membayar pegawai telah tersedia sebelum terjadi perikatan antara sekolah dengan guru. Dan yang terakhir adanya dukungan pendanaan oleh pemda jika terjadi defisit biaya operasional.
Jika pembenahan tidak dilakukan, kasus ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak contoh yang terus berulang. Pihak yang dirugikan dalam hal tidak terjadi perbaikan tata kelola adalah orang tua/wali murid yang akan tergencet dengan berbagai pungutan di sekolah.
Perlu dipertimbangkan bahwa bantuan operasional pendidikan sebenarnya telah disediakan oleh pemerintah untuk membantu sekolah dalam menutup kebutuhan operasional. Namun, ada beberapa pembatasan yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya.
Meski ada alokasi hingga 40% untuk honor, hanya guru yang terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang dapat dibayar melalui skema tersebut. Guru honorer yang tidak tercatat otomatis berada di luar skema. Inilah salah satu pemicu munculnya pungutan khususnya jika sekolah memiliki pegawai yang berstatus nonASN dan tidak tercantum dalam database.
Dalam hal terjadi kebutuhan operasional sekolah lebih besar daripada dana bantuan operasional yang diterima maka terjadi kecenderungan untuk menarik pungutan melalui pelibatan Komite Sekolah.