Penggunaan AI dan teknologi untuk menyebarkan konten seksual tanpa persetujuan korban adalah bentuk kekerasan yang semakin meluas di Indonesia. Pelaku yang terlibat dalam kasus ini adalah Chiko, seorang alumni SMA 11 Semarang yang baru-baru ini dilaporkan telah memanipulasi wajah siswi-siswi dan seorang guru di sekolahnya untuk menyebarkan konten seksual tanpa persetujuan.
Menurut Program Director Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, Anindya Restuviani, kasus ini tidak hanya merupakan penyebaran foto atau video intim tanpa persetujuan, tetapi juga merupakan "deepfake" yang mencuri identitas korban dan membuat konten tersebut menjadi seksual tanpa persetujuan. "AI ini sama seperti lingkungan digital lainnya didesain tidak ramah terhadap perempuan dan bahkan membahayakan hidup perempuan," katanya.
Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, juga menilai bahwa kasus ini memperlihatkan bahwa AI digunakan untuk membuat spektrum kekerasan berbasis gender online (KBGO) semakin meluas. "Teknologi itu sendiri tidak bermoral, yang bermoral itu manusianya. Hanya ketika manusia menggunakan teknologi, ada saja yang tidak menggunakan moralitas, sehingga terjadi kekerasan," katanya.
Pihak sekolah dan pemerintah diwajibkan untuk memberikan langkah pencegahan dan penanganan kasus KBGO, termasuk proses hukum agar korban dapat mendapatkan hak restitusi. Menurut Vivi dari Jakarta Feminist, permintaan maaf tidak cukup, tetapi pemulihan bagi korban yang utama. "Pokoknya jangan disalahin dan yang penting bukti tadi misalnya ada chat atau apa gitu ya dari si korban itu jangan dihapus," katanya.
Korban KBGO juga dapat melaporkan kasus yang dialami dan meminta dukungan ke lembaga layanan lainnya, seperti Komnas Perempuan. Masyarakat harus membangun kesadaran tentang privasi di ranah digital dan berhati-hati dalam membangun hubungan secara daring.
Menurut Program Director Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta, Anindya Restuviani, kasus ini tidak hanya merupakan penyebaran foto atau video intim tanpa persetujuan, tetapi juga merupakan "deepfake" yang mencuri identitas korban dan membuat konten tersebut menjadi seksual tanpa persetujuan. "AI ini sama seperti lingkungan digital lainnya didesain tidak ramah terhadap perempuan dan bahkan membahayakan hidup perempuan," katanya.
Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, juga menilai bahwa kasus ini memperlihatkan bahwa AI digunakan untuk membuat spektrum kekerasan berbasis gender online (KBGO) semakin meluas. "Teknologi itu sendiri tidak bermoral, yang bermoral itu manusianya. Hanya ketika manusia menggunakan teknologi, ada saja yang tidak menggunakan moralitas, sehingga terjadi kekerasan," katanya.
Pihak sekolah dan pemerintah diwajibkan untuk memberikan langkah pencegahan dan penanganan kasus KBGO, termasuk proses hukum agar korban dapat mendapatkan hak restitusi. Menurut Vivi dari Jakarta Feminist, permintaan maaf tidak cukup, tetapi pemulihan bagi korban yang utama. "Pokoknya jangan disalahin dan yang penting bukti tadi misalnya ada chat atau apa gitu ya dari si korban itu jangan dihapus," katanya.
Korban KBGO juga dapat melaporkan kasus yang dialami dan meminta dukungan ke lembaga layanan lainnya, seperti Komnas Perempuan. Masyarakat harus membangun kesadaran tentang privasi di ranah digital dan berhati-hati dalam membangun hubungan secara daring.