Klaim Presiden Prabowo Subianto bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) berhasil mencapai 99,99 persen sukses dianggap sebagai tanda bahaya dan manipulasi politik. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, klaim ini tidak didukung oleh fakta yang sebenarnya.
Sejatinya, JPPI melaporkan ada sekitar 1.602 anak yang menjadi korban keracunan MBG dalam pekan terakhir. Angka tersebut meningkat dibanding periode sebelumnya dan mencapai total 13.168 anak yang terkena dampak. Kasus-kasus ini tersebar di berbagai provinsi, dengan Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat menjadi wilayah dengan jumlah korban tertinggi.
Ubaid Matraji menekankan bahwa klaim sukses program MBG seperti itu menyepelekan keselamatan nyawa anak. Ia juga menyatakan bahwa pelaksanaan program ini masih belum berlangsung baik, terutama di wilayah pedesaan dan 3T yang membutuhkan.
“Kalau angka ditampilkan tapi fakta disembunyikan, itu bukan keberhasilan, tapi kegagalan yang sengaja dimanipulasi,” ujar Ubaid Matraji dalam keterangannya.
JPPI merekomendasikan agar pemerintah menghentikan penyaluran MBG sampai ada aturan yang jelas dan semua wilayah serta SPPG memenuhi standar keamanan pangan. Mereka juga menyadari bahwa perlu dibentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan pihak sekolah untuk mengungkap kasus keracunan serta menindak pelaku kelalaian.
“Lindungi sekolah dan guru dari intimidasi. Hentikan praktik pemaksaan surat kerahasiaan, dan lindungi pelapor kasus keracunan, dugaan korupsi, serta paket MBG yang tidak bergizi,” katanya.
Pemerintah juga harus membuka ke publik dan mengesahkan Perpres MBG secara transparan dengan melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan dan pengawasannya. Audit dana dan rantai distribusi MBG dianggap perlu agar program bebas dari korupsi, konflik kepentingan, dan manipulasi data.
Sejatinya, JPPI melaporkan ada sekitar 1.602 anak yang menjadi korban keracunan MBG dalam pekan terakhir. Angka tersebut meningkat dibanding periode sebelumnya dan mencapai total 13.168 anak yang terkena dampak. Kasus-kasus ini tersebar di berbagai provinsi, dengan Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat menjadi wilayah dengan jumlah korban tertinggi.
Ubaid Matraji menekankan bahwa klaim sukses program MBG seperti itu menyepelekan keselamatan nyawa anak. Ia juga menyatakan bahwa pelaksanaan program ini masih belum berlangsung baik, terutama di wilayah pedesaan dan 3T yang membutuhkan.
“Kalau angka ditampilkan tapi fakta disembunyikan, itu bukan keberhasilan, tapi kegagalan yang sengaja dimanipulasi,” ujar Ubaid Matraji dalam keterangannya.
JPPI merekomendasikan agar pemerintah menghentikan penyaluran MBG sampai ada aturan yang jelas dan semua wilayah serta SPPG memenuhi standar keamanan pangan. Mereka juga menyadari bahwa perlu dibentuk tim investigasi independen yang melibatkan masyarakat sipil, tenaga kesehatan, dan pihak sekolah untuk mengungkap kasus keracunan serta menindak pelaku kelalaian.
“Lindungi sekolah dan guru dari intimidasi. Hentikan praktik pemaksaan surat kerahasiaan, dan lindungi pelapor kasus keracunan, dugaan korupsi, serta paket MBG yang tidak bergizi,” katanya.
Pemerintah juga harus membuka ke publik dan mengesahkan Perpres MBG secara transparan dengan melibatkan masyarakat sipil dalam pembahasan dan pengawasannya. Audit dana dan rantai distribusi MBG dianggap perlu agar program bebas dari korupsi, konflik kepentingan, dan manipulasi data.