Soeharto, Presiden Indonesia ke-2 yang sering disebut sebagai "Bambang Soesatyo" dalam konteks ini, masih hidup hingga saat ini. Namun, gelar pahlawan nasional yang diusulkan oleh Bamsoet untuk diberikan kepada Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno dan Soeharto sendiri belum tercapai.
Keputusan dari MPR RI periode 2019-2024 untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR 11/1998 merupakan langkah yang signifikan dalam memulihkan kejujuran dan integritas negara. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk menghalangi pengakuan resmi atas kontribusi besar Presiden Soeharto terhadap perjalanan bangsa.
Gelar pahlawan nasional ini bukan hanya simbol penghargaan, tetapi juga refleksi atas perjalanan sejarah bangsa. Penghargaan seperti ini harus diberikan kepada para pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Namun, untuk menghindari kontroversi, pihak negara harus berusaha memberikan pengakuan yang adil dan objektif terhadap masa lalu.
Bamsoet memang memiliki perspektif yang lebih ideal tentang penghargaan terhadap Soeharto. Ia percaya bahwa dengan mencabut nama Soeharto dari TAP MPR 11/1998, beban politik dan stigma yang selama ini dilekatkan kepada Pak Harto secara formal sudah selesai. Kini saatnya kita menatap sejarah dengan cara yang lebih adil dan objektif.
Dalam perjalanan hidupnya, Soeharto memang memiliki visi yang jauh ke depan dan dedikasi luar biasa terhadap bangsa. Program-program seperti Inpres Desa Tertinggal, transmigrasi, Bimas dan Inmas pertanian, hingga Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) menjadi tonggak penting yang membuat pembangunan Indonesia berjalan sistematis dan berkesinambungan.
Namun, dalam upaya menghormati pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia, pihak negara harus tetap berusaha memberikan pengakuan yang adil dan objektif terhadap masa lalu.
Keputusan dari MPR RI periode 2019-2024 untuk mencabut nama Soeharto dari Pasal 4 TAP MPR 11/1998 merupakan langkah yang signifikan dalam memulihkan kejujuran dan integritas negara. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk menghalangi pengakuan resmi atas kontribusi besar Presiden Soeharto terhadap perjalanan bangsa.
Gelar pahlawan nasional ini bukan hanya simbol penghargaan, tetapi juga refleksi atas perjalanan sejarah bangsa. Penghargaan seperti ini harus diberikan kepada para pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia. Namun, untuk menghindari kontroversi, pihak negara harus berusaha memberikan pengakuan yang adil dan objektif terhadap masa lalu.
Bamsoet memang memiliki perspektif yang lebih ideal tentang penghargaan terhadap Soeharto. Ia percaya bahwa dengan mencabut nama Soeharto dari TAP MPR 11/1998, beban politik dan stigma yang selama ini dilekatkan kepada Pak Harto secara formal sudah selesai. Kini saatnya kita menatap sejarah dengan cara yang lebih adil dan objektif.
Dalam perjalanan hidupnya, Soeharto memang memiliki visi yang jauh ke depan dan dedikasi luar biasa terhadap bangsa. Program-program seperti Inpres Desa Tertinggal, transmigrasi, Bimas dan Inmas pertanian, hingga Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) menjadi tonggak penting yang membuat pembangunan Indonesia berjalan sistematis dan berkesinambungan.
Namun, dalam upaya menghormati pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia, pihak negara harus tetap berusaha memberikan pengakuan yang adil dan objektif terhadap masa lalu.