"Jalan Terjal untuk Membuat Bahasa Indonesia Internasional"
Berselang-seling di sepanjang jalan terjal ini, pemerintah berusaha meningkatkan martabat bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah tonggak sejarah keinginan mempersatukan dan memerdekakan bangsa Indonesia dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Tahun 1945, Undang-Undang Dasar No. 36 menyatakan bahwa bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara. Namun, sekarang pemerintah berusaha meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
Dalam upaya ini, lembaga kebahasaan seperti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan berbagai program, salah satunya adalah pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Program BIPA menjadi isu strategis yang dibicarakan dalam Rembuk Nasional Pendidikan pada 2015.
Dari data, pengiriman pengajar BIPA telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mencapai 2.313 penugasan pengajar BIPA dengan sasaran 200.956 pembelajar di 772 lembaga di 57 negara.
Selain itu, bahasa Indonesia resmi ditetapkan sebagai bahasa resmi ke-10 Konferensi Umum UNESCO pada 20 November 2023 dan mendapatkan perhatian luas dalam berbagai forum internasional.
Namun, terdapat masalah yang krusial, yaitu sikap bahasa. Banyak pengguna bahasa Indonesia bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia sendiri. Hal ini menyebabkan pernyataan anak-anak siswa di sekolah SPK di Jakarta bahwa mereka tidak akan bekerja di Indonesia jika harus menggunakan bahasa Indonesia.
Masyarakat harus diedukasi bahwa bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa dan memiliki identitas sosial budaya. Oleh karena itu, kita tidak boleh larut dalam euforia dan harus terus berjuang hingga bahasa Indonesia digunakan secara meluas untuk perdagangan, pertukaran ilmu pengetahuan, dan kebijakan internasional.
Fenomena 'tidak percaya diri' berbahasa Indonesia dalam forum internasional di dalam negeri masih merasuki para akademisi. Perguruan tinggi semestinya menjadi mercusuar untuk membawa arah internasionalisasi bahasa Indonesia.
Berselang-seling di sepanjang jalan terjal ini, pemerintah berusaha meningkatkan martabat bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah tonggak sejarah keinginan mempersatukan dan memerdekakan bangsa Indonesia dengan menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Tahun 1945, Undang-Undang Dasar No. 36 menyatakan bahwa bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa negara. Namun, sekarang pemerintah berusaha meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
Dalam upaya ini, lembaga kebahasaan seperti Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melakukan berbagai program, salah satunya adalah pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA). Program BIPA menjadi isu strategis yang dibicarakan dalam Rembuk Nasional Pendidikan pada 2015.
Dari data, pengiriman pengajar BIPA telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan mencapai 2.313 penugasan pengajar BIPA dengan sasaran 200.956 pembelajar di 772 lembaga di 57 negara.
Selain itu, bahasa Indonesia resmi ditetapkan sebagai bahasa resmi ke-10 Konferensi Umum UNESCO pada 20 November 2023 dan mendapatkan perhatian luas dalam berbagai forum internasional.
Namun, terdapat masalah yang krusial, yaitu sikap bahasa. Banyak pengguna bahasa Indonesia bersikap negatif terhadap bahasa Indonesia sendiri. Hal ini menyebabkan pernyataan anak-anak siswa di sekolah SPK di Jakarta bahwa mereka tidak akan bekerja di Indonesia jika harus menggunakan bahasa Indonesia.
Masyarakat harus diedukasi bahwa bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa dan memiliki identitas sosial budaya. Oleh karena itu, kita tidak boleh larut dalam euforia dan harus terus berjuang hingga bahasa Indonesia digunakan secara meluas untuk perdagangan, pertukaran ilmu pengetahuan, dan kebijakan internasional.
Fenomena 'tidak percaya diri' berbahasa Indonesia dalam forum internasional di dalam negeri masih merasuki para akademisi. Perguruan tinggi semestinya menjadi mercusuar untuk membawa arah internasionalisasi bahasa Indonesia.