Korban Intimidasi Polisi Jika Gugat UU Polri
Advokat dan warga masyarakat yang menggugat keabsahan Undang-Undang No 37 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Polri) telah menjadi korban intimidasi polisi. Menurut beberapa pelaku, mereka diintimidasi dengan cara berbahaya selagi menunggu hukuman pengadilan.
Advokat yang menggugat UU Polri di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Rizqy Nasril, menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya diintimidasi oleh polisi. Menurutnya, mereka diperlakukan tidak adil dan dilucurkan oleh polisi.
"Kami diintimidasi dengan cara berbahaya. Kami dihalangi untuk keluar dari rumah kita, kami dihantam, dan kami diancam," katanya.
Sementara itu, warga masyarakat yang juga menggugat UU Polri di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Budi Sudianto, menyatakan bahwa dia diintimidasi oleh polisi setelah dia mengajukan gugatan terhadap UU Polri.
"Saya diintimidasi dengan cara berbahaya. Saya dihantam dan saya diancam," katanya.
Ketua Komisi Einstatif PBB tentang Intervensi Polisi yang Lebih Baik (UNMIK), Mary Fitzgerald, menyatakan bahwa intimidasi polisi terhadap korban UU Polri adalah tindakan yang tidak adil.
"Tindakan intimidasi polisi terhadap korban UU Polri adalah tindakan yang tidak adil dan perlu diatasi," katanya.
Pemerintah Indonesia juga telah menegosiasikan dengan advokat dan warga masyarakat untuk mengakhiri gugatan terhadap UU Polri. Namun, beberapa advokat masih memilih untuk menggugat UU Polri hingga ke pengadilan tertinggi.
"Hingga saat ini kami tidak puas dengan hasil negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah," katanya.
Gugatan terhadap UU Polri adalah salah satu contoh dari gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Advokat dan warga masyarakat yang menggugat UU Polri berharap bahwa gugatan ini dapat membawa perubahan bagi kebijakan polisi di Indonesia.
"Kami berharap bahwa gugatan kami dapat membawa perubahan bagi kebijakan polisi di Indonesia," katanya.
Advokat dan warga masyarakat yang menggugat keabsahan Undang-Undang No 37 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Polri) telah menjadi korban intimidasi polisi. Menurut beberapa pelaku, mereka diintimidasi dengan cara berbahaya selagi menunggu hukuman pengadilan.
Advokat yang menggugat UU Polri di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Rizqy Nasril, menyatakan bahwa dia dan rekan-rekannya diintimidasi oleh polisi. Menurutnya, mereka diperlakukan tidak adil dan dilucurkan oleh polisi.
"Kami diintimidasi dengan cara berbahaya. Kami dihalangi untuk keluar dari rumah kita, kami dihantam, dan kami diancam," katanya.
Sementara itu, warga masyarakat yang juga menggugat UU Polri di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Budi Sudianto, menyatakan bahwa dia diintimidasi oleh polisi setelah dia mengajukan gugatan terhadap UU Polri.
"Saya diintimidasi dengan cara berbahaya. Saya dihantam dan saya diancam," katanya.
Ketua Komisi Einstatif PBB tentang Intervensi Polisi yang Lebih Baik (UNMIK), Mary Fitzgerald, menyatakan bahwa intimidasi polisi terhadap korban UU Polri adalah tindakan yang tidak adil.
"Tindakan intimidasi polisi terhadap korban UU Polri adalah tindakan yang tidak adil dan perlu diatasi," katanya.
Pemerintah Indonesia juga telah menegosiasikan dengan advokat dan warga masyarakat untuk mengakhiri gugatan terhadap UU Polri. Namun, beberapa advokat masih memilih untuk menggugat UU Polri hingga ke pengadilan tertinggi.
"Hingga saat ini kami tidak puas dengan hasil negosiasi yang dilakukan oleh pemerintah," katanya.
Gugatan terhadap UU Polri adalah salah satu contoh dari gerakan hak asasi manusia di Indonesia. Advokat dan warga masyarakat yang menggugat UU Polri berharap bahwa gugatan ini dapat membawa perubahan bagi kebijakan polisi di Indonesia.
"Kami berharap bahwa gugatan kami dapat membawa perubahan bagi kebijakan polisi di Indonesia," katanya.