Industri otomotif nasional masih terjebak dalam kegantungan impor baja, meskipun pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi baja di dalam negeri. Banyak yang mengatakan bahwa kualitas baja lokal masih rendah dan rentan terhadap cacat material saat melalui proses produksi massal.
Menurut Puryanto, Wakil Ketua Khusus Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), kegantungan impor baja adalah penyebab utama. "Baja yang kita hasilkan di dalam negeri masih memiliki kualitas yang rentan terhadap cacat material saat melalui proses produksi massal," ujarnya.
Puryanto juga mengatakan bahwa baja lokal masih memiliki kesulitan untuk menunjang industri otomotif. "Karena baja hasil produksi di dalam negeri ketika melalui proses produksi dengan tekanan tinggi rawan pecah," tuturnya.
Selain itu, kegantungan impor baja juga mempengaruhi ketergantungan global pada bahan semikonduktor dan logam tanah jarang yang dikuasai oleh satu negara tertentu. Menurut Puryanto, ini sangat strategis dan dapat mempengaruhi ketahanan nasional dan industri.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya pendalaman riset dan penguasaan teknologi pengolahan hasil tambang di dalam negeri. Langkah ini tidak hanya untuk mendukung industrialisasi, termasuk transformasi energi ke kendaraan listrik, tetapi juga untuk menghemat devisa negara.
Puryanto juga mengusulkan realokasi sebagian subsidi BBM fosil yang nilainya ratusan triliun tiap tahun untuk mempercepat pembangunan infrastruktur kendaraan listrik. Jika 10 persen dialokasikan untuk infrastruktur di EV, maka EV di Indonesia, baik motor maupun mobil akan cepat sekali terealisasi, kata dia.
Tentu saja ini adalah kejadian yang perlu diperhatikan oleh para pecinta negeri dan penggemar teknologi terbaru yang mana seharusnya bahan bakarnya bukan impor.
Menurut Puryanto, Wakil Ketua Khusus Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo), kegantungan impor baja adalah penyebab utama. "Baja yang kita hasilkan di dalam negeri masih memiliki kualitas yang rentan terhadap cacat material saat melalui proses produksi massal," ujarnya.
Puryanto juga mengatakan bahwa baja lokal masih memiliki kesulitan untuk menunjang industri otomotif. "Karena baja hasil produksi di dalam negeri ketika melalui proses produksi dengan tekanan tinggi rawan pecah," tuturnya.
Selain itu, kegantungan impor baja juga mempengaruhi ketergantungan global pada bahan semikonduktor dan logam tanah jarang yang dikuasai oleh satu negara tertentu. Menurut Puryanto, ini sangat strategis dan dapat mempengaruhi ketahanan nasional dan industri.
Oleh karena itu, ia menekankan perlunya pendalaman riset dan penguasaan teknologi pengolahan hasil tambang di dalam negeri. Langkah ini tidak hanya untuk mendukung industrialisasi, termasuk transformasi energi ke kendaraan listrik, tetapi juga untuk menghemat devisa negara.
Puryanto juga mengusulkan realokasi sebagian subsidi BBM fosil yang nilainya ratusan triliun tiap tahun untuk mempercepat pembangunan infrastruktur kendaraan listrik. Jika 10 persen dialokasikan untuk infrastruktur di EV, maka EV di Indonesia, baik motor maupun mobil akan cepat sekali terealisasi, kata dia.
Tentu saja ini adalah kejadian yang perlu diperhatikan oleh para pecinta negeri dan penggemar teknologi terbaru yang mana seharusnya bahan bakarnya bukan impor.