Pandawara Group mengajukan gagasan pembelian hutan, membanjiri media sosial Indonesia. Gagasan ini bukan yang pertama, namun dampak dari akun dengan pengikut 4,1 juta itu cukup membangunkan berbagai respons dari masyarakat. Akun @pandawaragroup mengunggah gagasannya di instagramnya dan sekarang sudah mencapai ratusan ribu tanda like dan komentar.
Bercerita tentang banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu. Banjir bandang itu disebut-disebut menjadi bukti dari adanya pembalakan hutan yang masif di hutan Sumatra. Kesaksian warga soal rapinya potongan kayu hingga adanya tanda nomor dalam gelondongan itu turut menguatkannya.
Pemerintah lagi-lagi memakai senjatanya, berjanji menghukum pelaku dan berjanji membenahi tata kelola hutan. Namun, hadirnya fenomena ini menunjukkan secara jelas sikap frustasi publik dan lunturnya kepercayaan mereka pada negara.
Fenomena ini juga perlu dibaca sebagai sinyal jatuhnya legitimasi negara sebagai trustee kawasan hutan. Masyarakat merasa harus mengandalkan aksi kolektif publik dengan cara βmembeliβ hutan agar tidak dialihfungsikan.
Auriga Nusantara memandang, ajakan untuk membeli hutan sesungguhnya juga mencerminkan sindiran tajam kepada negara. Mekanisme resmi yang seharusnya menjamin perlindungan hutan tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ketika jalur formal ini dianggap masyarakat buntu, dorongan mencari alternatif peran muncul secara spontan.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tidak banyak merespons saat dihubungi Tirto. Pakar dari Universitas Gadjah Mada itu memberikan opsi pemanfaatan lahan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat lewat program Perhutanan Sosial.
Namun, pembelian hutan dengan skema iuran juga dikhawatirkan akan membungkus hutan seolah masuk dalam kategori hak milik pribadi. Menimbulkan eksklusi terhadap masyarakat yang tidak ikut patungan atau tidak tercatat sebagai pemilik.
Dalam menghadapi fenomena ini, salah satu alternatif yang lebih strategis bisa diarahkan kepada memobilisasi warga mengganti para pengurus lembaga trustee bernama negara.
Bercerita tentang banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu. Banjir bandang itu disebut-disebut menjadi bukti dari adanya pembalakan hutan yang masif di hutan Sumatra. Kesaksian warga soal rapinya potongan kayu hingga adanya tanda nomor dalam gelondongan itu turut menguatkannya.
Pemerintah lagi-lagi memakai senjatanya, berjanji menghukum pelaku dan berjanji membenahi tata kelola hutan. Namun, hadirnya fenomena ini menunjukkan secara jelas sikap frustasi publik dan lunturnya kepercayaan mereka pada negara.
Fenomena ini juga perlu dibaca sebagai sinyal jatuhnya legitimasi negara sebagai trustee kawasan hutan. Masyarakat merasa harus mengandalkan aksi kolektif publik dengan cara βmembeliβ hutan agar tidak dialihfungsikan.
Auriga Nusantara memandang, ajakan untuk membeli hutan sesungguhnya juga mencerminkan sindiran tajam kepada negara. Mekanisme resmi yang seharusnya menjamin perlindungan hutan tidak bekerja sebagaimana mestinya. Ketika jalur formal ini dianggap masyarakat buntu, dorongan mencari alternatif peran muncul secara spontan.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tidak banyak merespons saat dihubungi Tirto. Pakar dari Universitas Gadjah Mada itu memberikan opsi pemanfaatan lahan yang sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat lewat program Perhutanan Sosial.
Namun, pembelian hutan dengan skema iuran juga dikhawatirkan akan membungkus hutan seolah masuk dalam kategori hak milik pribadi. Menimbulkan eksklusi terhadap masyarakat yang tidak ikut patungan atau tidak tercatat sebagai pemilik.
Dalam menghadapi fenomena ini, salah satu alternatif yang lebih strategis bisa diarahkan kepada memobilisasi warga mengganti para pengurus lembaga trustee bernama negara.