Kabinet Presiden Joko Widodo mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah perubahan iklim di belakang latar belakang negosiasi krusial COP-30. Dulu, perjanjian Rio-92 menjadi contoh kekuatan multilateral yang kuat di kalangan negara-negara berkembang di Asia Tenggara.
Sejak abad ke-21, Amerika Serikat telah mengabaikan aturan-aturan multilateral sejauhnya. Pada tahun 2001, Presiden George W. Bush menandatigakan keputusan untuk tidak bergabung dengan Protokol Kyoto, sebuah mekanisme peningkatan iklim yang diperpanjang dari UNFCCC. Ini menyebabkan kerusakan pada sistem perubahan iklim dan terus menjadi isu hingga protokol itu berakhir tahun 2020.
Pada COP-21 tahun 2015, Amerika Serikat menandatigakan Perjanjian Paris yang ditujukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang. Namun, perjanjian ini hanya memberikan jaminan berdasarkan kontribusi setiap negara sendiri dan tidak memiliki basis komprehensif.
Pada akhirnya COP-21 menandatigakan sesuatu yang dapat disebut "perjanjian palsu" dengan mengubah fokus dari perubahan iklim menjadi pertumbuhan ekonomi. Ini memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk terus tumbuh tanpa harus beradaptasi dengan aturan-aturan multilateral.
Bisnis, termasuk petrolium, masih menguasai diplomasi internasional. G20 tidak memiliki kebijakan yang komprehensif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi negara-negara berkembang dari dampak perubahan iklim.
Kini COP-30 di Belém terus berlangsung tanpa Amerika Serikat. Kabinet Presiden Joko Widodo mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah perubahan iklim di belakang latar belakang negosiasi krusial COP-30.
Sejak abad ke-21, Amerika Serikat telah mengabaikan aturan-aturan multilateral sejauhnya. Pada tahun 2001, Presiden George W. Bush menandatigakan keputusan untuk tidak bergabung dengan Protokol Kyoto, sebuah mekanisme peningkatan iklim yang diperpanjang dari UNFCCC. Ini menyebabkan kerusakan pada sistem perubahan iklim dan terus menjadi isu hingga protokol itu berakhir tahun 2020.
Pada COP-21 tahun 2015, Amerika Serikat menandatigakan Perjanjian Paris yang ditujukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di negara-negara berkembang. Namun, perjanjian ini hanya memberikan jaminan berdasarkan kontribusi setiap negara sendiri dan tidak memiliki basis komprehensif.
Pada akhirnya COP-21 menandatigakan sesuatu yang dapat disebut "perjanjian palsu" dengan mengubah fokus dari perubahan iklim menjadi pertumbuhan ekonomi. Ini memberikan kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk terus tumbuh tanpa harus beradaptasi dengan aturan-aturan multilateral.
Bisnis, termasuk petrolium, masih menguasai diplomasi internasional. G20 tidak memiliki kebijakan yang komprehensif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi negara-negara berkembang dari dampak perubahan iklim.
Kini COP-30 di Belém terus berlangsung tanpa Amerika Serikat. Kabinet Presiden Joko Widodo mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah perubahan iklim di belakang latar belakang negosiasi krusial COP-30.