FALCON MEMBUAT KEMBALI FILM SHUTTER GANTI DANGAN KISAH MENCEKAM UNTUK MENJADIKAN BANTUAN PELAPORAN KEKERASAN SEKSUAL. Sejak 21 tahun lalu, Falcon Pictures menghadirkan film horor Shutter dalam versi Indonesia yang akan tayang di bioskop pada 30 Oktober 2025.
Dalam film ini, terdapat dua lapisan pengalaman bagi penonton karena di permukaannya adalah film horor mencekam. Namun, di balik itu, ada pesan tentang keadilan dan keberanian untuk bersuara. Penulis skenario, Alim Sudio mengatakan bahwa mereka ingin penonton bukan hanya takut, tapi juga tersentuh dan berpikir.
Sutradara Herwin Novianto mengatakan bahwa dia ingin membuat horor yang menjadikan rasa takut dalam Shutter tidak hanya datang dari hantu, tapi kenyataan pahit yang sering diabaikan. Film ini bertujuan untuk memberikan pesan tentang keadilan dan lemahnya mekanisme pelaporan yang membuat banyak korban bungkam.
Film Shutter memulai kisahnya lewat karakter Darwin, seorang fotografer muda yang hidupnya berubah setelah kecelakaan tragis bersama kekasihnya Pia. Pasangan itu menabrak seorang wanita misterius di tengah jalan pada malam hari. Tak lama setelah kejadian itu, Darwin mulai melihat bayangan ganjil di setiap hasil fotonya, sosok perempuan yang sama terus muncul, menatap dari balik kegelapan.
Seiring waktu, Pia menemukan fakta bahwa sosok tersebut bukan sekadar roh penasaran, melainkan korban dari sebuah kejahatan masa lalu yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kampus. Penelusuran Pia membuka rahasia kelam yang selama ini disembunyikan Darwin, yakni kisah tentang pelecehan seksual di kampus, ketidaksetaraan gender, dan lemahnya mekanisme pelaporan yang membuat banyak korban bungkam.
Tim produksi dan aktor film horor Shutter mengatakan bahwa mereka ingin memberikan pesan bahwa pria seharusnya tidak menyakiti para wanita dan kita juga selaras dengan kampanye Komnas HAM #SafeSpaceForAll.
Dalam film ini, terdapat dua lapisan pengalaman bagi penonton karena di permukaannya adalah film horor mencekam. Namun, di balik itu, ada pesan tentang keadilan dan keberanian untuk bersuara. Penulis skenario, Alim Sudio mengatakan bahwa mereka ingin penonton bukan hanya takut, tapi juga tersentuh dan berpikir.
Sutradara Herwin Novianto mengatakan bahwa dia ingin membuat horor yang menjadikan rasa takut dalam Shutter tidak hanya datang dari hantu, tapi kenyataan pahit yang sering diabaikan. Film ini bertujuan untuk memberikan pesan tentang keadilan dan lemahnya mekanisme pelaporan yang membuat banyak korban bungkam.
Film Shutter memulai kisahnya lewat karakter Darwin, seorang fotografer muda yang hidupnya berubah setelah kecelakaan tragis bersama kekasihnya Pia. Pasangan itu menabrak seorang wanita misterius di tengah jalan pada malam hari. Tak lama setelah kejadian itu, Darwin mulai melihat bayangan ganjil di setiap hasil fotonya, sosok perempuan yang sama terus muncul, menatap dari balik kegelapan.
Seiring waktu, Pia menemukan fakta bahwa sosok tersebut bukan sekadar roh penasaran, melainkan korban dari sebuah kejahatan masa lalu yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan di lingkungan kampus. Penelusuran Pia membuka rahasia kelam yang selama ini disembunyikan Darwin, yakni kisah tentang pelecehan seksual di kampus, ketidaksetaraan gender, dan lemahnya mekanisme pelaporan yang membuat banyak korban bungkam.
Tim produksi dan aktor film horor Shutter mengatakan bahwa mereka ingin memberikan pesan bahwa pria seharusnya tidak menyakiti para wanita dan kita juga selaras dengan kampanye Komnas HAM #SafeSpaceForAll.