Pernyataan Prabowo Subianto tentang penurunan kemiskinan di Indonesia dalam setahun sekarang menjadi topik kontroversi. Menurutnya, tingkat kemiskinan turun menjadi 8,47 persen, rekor terendah sepanjang sejarah Indonesia.
Tapi, apa benarnya? Apakah penurunan angka ini memang sebesar yang diklaim oleh Prabowo? Banyak ahli ekonomi dan peneliti mengatakan bahwa capaian ini masih jauh dari target yang seharusnya dicapai. Penyebab utamanya adalah sisa kemiskinan, yang merupakan tingkat pengangguran dan kesenjangan sosial di Indonesia.
"Kita tidak boleh puas dengan angka-angka semata, tapi juga harus melihat pada kualitas hidup masyarakat," kata Putu Rusta Adijaya, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII). "Jika kita hanya melihat penurunan kemiskinan dari angka-angka semata, maka kita akan merasa puas. Tapi, apakah itu membenarkan perubahan yang terjadi? Apakah masyarakat miskin benar-benar memiliki kualitas hidup yang lebih baik?"
Menurutnya, penurunan kemiskinan di Indonesia masih ada banyak kesan negatif, seperti sisa-sisa kemiskinan. "Dari data BPS, kita melihat bahwa tingkat pengangguran dan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan masih sangat besar," ujar Rusta.
Selain itu, Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga mengatakan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia masih ada banyak kelemahan. "Kita harus memperhatikan dua indikator lain, yaitu kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan," katanya.
"Jika kita hanya melihat pada tingkat pengangguran, maka kita akan menemukan bahwa masih ada banyak sisa-sisa kemiskinan. Jadi, perlu ada langkah yang lebih matang dalam mengatasi masalah ini."
Dengan demikian, ahli-ahli ekonomi dan peneliti mengajak pemerintah untuk tidak hanya memandang angka-angka semata, tapi juga harus melihat pada kualitas hidup masyarakat.
Tapi, apa benarnya? Apakah penurunan angka ini memang sebesar yang diklaim oleh Prabowo? Banyak ahli ekonomi dan peneliti mengatakan bahwa capaian ini masih jauh dari target yang seharusnya dicapai. Penyebab utamanya adalah sisa kemiskinan, yang merupakan tingkat pengangguran dan kesenjangan sosial di Indonesia.
"Kita tidak boleh puas dengan angka-angka semata, tapi juga harus melihat pada kualitas hidup masyarakat," kata Putu Rusta Adijaya, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII). "Jika kita hanya melihat penurunan kemiskinan dari angka-angka semata, maka kita akan merasa puas. Tapi, apakah itu membenarkan perubahan yang terjadi? Apakah masyarakat miskin benar-benar memiliki kualitas hidup yang lebih baik?"
Menurutnya, penurunan kemiskinan di Indonesia masih ada banyak kesan negatif, seperti sisa-sisa kemiskinan. "Dari data BPS, kita melihat bahwa tingkat pengangguran dan kesenjangan antara wilayah pedesaan dan perkotaan masih sangat besar," ujar Rusta.
Selain itu, Peneliti CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, juga mengatakan bahwa penurunan kemiskinan di Indonesia masih ada banyak kelemahan. "Kita harus memperhatikan dua indikator lain, yaitu kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan," katanya.
"Jika kita hanya melihat pada tingkat pengangguran, maka kita akan menemukan bahwa masih ada banyak sisa-sisa kemiskinan. Jadi, perlu ada langkah yang lebih matang dalam mengatasi masalah ini."
Dengan demikian, ahli-ahli ekonomi dan peneliti mengajak pemerintah untuk tidak hanya memandang angka-angka semata, tapi juga harus melihat pada kualitas hidup masyarakat.