Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengeluarkan kebijakan baru terkait penggunaan hukuman fisik dalam pendidikan di wilayah tersebut. Kebijakan ini bertujuan untuk membentuk karakter positif siswa dan menegaskan perubahan pendekatan dalam dunia pendidikan dari pola disiplin berbasis hukuman menuju pembinaan yang edukatif dan berkarakter.
Menurut Sekretaris Daerah Jabar, Herman Suryatman, kebijakan ini telah dibuat dan didistribusikan. Ia berharap bahwa jajaran Dinas Pendidikan baik provinsi, kabupaten/kota, serta Kanwil Kemenag dapat menerapkan sanksi yang bersifat edukatif dan pedagogik.
Kebijakan ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK), termasuk Madrasah Aliyah (MA) di bawah Kementerian Agama. Menurut Herman, setiap bentuk sanksi terhadap pelanggaran siswa harus berorientasi pada pembelajaran, bukan hukuman.
Sebagai gantinya, pemerintah provinsi mendorong sekolah menerapkan sanksi sosial yang konstruktif, seperti kerja bakti, membersihkan ruang kelas, atau kegiatan positif lainnya. Gubernur Mulyadi sendiri menyampaikan bahwa siswa bisa diberi sanksi dengan kerja bakti di sekolah, karena itu bagus untuk menanamkan nilai tanggung jawab.
Kebijakan ini tidak hanya soal disiplin, tetapi juga soal pembentukan karakter anak di era digital, di mana pengaruh media sosial semakin kuat. Herman menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah, pemerintah, orang tua, dan masyarakat untuk membentuk lingkungan belajar yang sehat dan aman.
Dengan demikian, pendidikan itu harus menjadi ruang yang menumbuhkan, bukan menakutkan. Kebijakan ini mengembalikan semangat itu.
Menurut Sekretaris Daerah Jabar, Herman Suryatman, kebijakan ini telah dibuat dan didistribusikan. Ia berharap bahwa jajaran Dinas Pendidikan baik provinsi, kabupaten/kota, serta Kanwil Kemenag dapat menerapkan sanksi yang bersifat edukatif dan pedagogik.
Kebijakan ini berlaku untuk semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/SMK), termasuk Madrasah Aliyah (MA) di bawah Kementerian Agama. Menurut Herman, setiap bentuk sanksi terhadap pelanggaran siswa harus berorientasi pada pembelajaran, bukan hukuman.
Sebagai gantinya, pemerintah provinsi mendorong sekolah menerapkan sanksi sosial yang konstruktif, seperti kerja bakti, membersihkan ruang kelas, atau kegiatan positif lainnya. Gubernur Mulyadi sendiri menyampaikan bahwa siswa bisa diberi sanksi dengan kerja bakti di sekolah, karena itu bagus untuk menanamkan nilai tanggung jawab.
Kebijakan ini tidak hanya soal disiplin, tetapi juga soal pembentukan karakter anak di era digital, di mana pengaruh media sosial semakin kuat. Herman menekankan pentingnya kolaborasi antara sekolah, pemerintah, orang tua, dan masyarakat untuk membentuk lingkungan belajar yang sehat dan aman.
Dengan demikian, pendidikan itu harus menjadi ruang yang menumbuhkan, bukan menakutkan. Kebijakan ini mengembalikan semangat itu.