Krisis Bencana Sumatra membutuhkan fleksibilitas pesawat charter, bukan hanya untuk kepentingan logistik. Armada charter harus siap melayani seluruh wilayah dalam kondisi darurat agar tidak ada kesempatan hilangnya bantuan kepada warga yang terisolasi. Pemerintah dan maskapai perintis telah berdiskusi untuk menyiapkan armada pesawat kecil STOL, seperti Caravan atau Porter, yang sesuai dengan kondisi medan di Sumatra.
Tambahan lagi, skema pra-negoisasi antara pemerintah dan operator charter dapat mengubah respons bencana dari reaktif menjadi proaktif. Pemerintah dapat membuat Nota Kesepahaman (MoU) atau kerangka kerja sama dengan operator yang memiliki armada khusus STOL, sehingga ketika bencana terjadi, pemerintah tinggal mengaktifkan perjanjian yang sudah ada.
" Pesawat charter sipil diposisikan sebagai pelengkap untuk mengisi celah kapasitas, terutama di rute-rute yang tidak sempat terjangkau TNI AU setiap hari. Idealnya, ke depan pemerintah punya rencana kontinjensi nasional yang sudah mengikat beberapa operator charter domestik dalam skema 'stand by untuk bencana' dengan skema pembayaran yang jelas," ujar Marsekal Chappy Hakim.
Pernah ada kasus maskapai Susi Air beroperasi pesawat Caravan dan Porter untuk membantu distribusi logistik di wilayah terdampak. Penggunaan armada ini mempercepat penanganan bencana, meski hanya sebagai tambahan dari armada TNI AU.
"Skema pra-negoisasi antara pemerintah dan operator charter dapat meningkatkan respons cepat dalam menangani bencana. Hal ini sangat penting untuk menyelamatkan nyawa korban yang terisolasi," ujarnya.
Tidak hanya itu, skema pra-negoisasi juga membantu mengurangi birokrasi dalam penanganan bencana. Pemerintah dapat menunjuk langsung dengan justifikasi kedaruratan, bukan melalui tender panjang seperti proyek biasa.
"Kita tidak ingin ada kesempatan hilangnya bantuan ke warga yang terisolasi karena birokrasi dan negosiasi. Skema pra-negoisasi ini membantu kita meningkatkan respons cepat dalam menangani bencana," imbuhnya.
Tambahan lagi, skema pra-negoisasi antara pemerintah dan operator charter dapat mengubah respons bencana dari reaktif menjadi proaktif. Pemerintah dapat membuat Nota Kesepahaman (MoU) atau kerangka kerja sama dengan operator yang memiliki armada khusus STOL, sehingga ketika bencana terjadi, pemerintah tinggal mengaktifkan perjanjian yang sudah ada.
" Pesawat charter sipil diposisikan sebagai pelengkap untuk mengisi celah kapasitas, terutama di rute-rute yang tidak sempat terjangkau TNI AU setiap hari. Idealnya, ke depan pemerintah punya rencana kontinjensi nasional yang sudah mengikat beberapa operator charter domestik dalam skema 'stand by untuk bencana' dengan skema pembayaran yang jelas," ujar Marsekal Chappy Hakim.
Pernah ada kasus maskapai Susi Air beroperasi pesawat Caravan dan Porter untuk membantu distribusi logistik di wilayah terdampak. Penggunaan armada ini mempercepat penanganan bencana, meski hanya sebagai tambahan dari armada TNI AU.
"Skema pra-negoisasi antara pemerintah dan operator charter dapat meningkatkan respons cepat dalam menangani bencana. Hal ini sangat penting untuk menyelamatkan nyawa korban yang terisolasi," ujarnya.
Tidak hanya itu, skema pra-negoisasi juga membantu mengurangi birokrasi dalam penanganan bencana. Pemerintah dapat menunjuk langsung dengan justifikasi kedaruratan, bukan melalui tender panjang seperti proyek biasa.
"Kita tidak ingin ada kesempatan hilangnya bantuan ke warga yang terisolasi karena birokrasi dan negosiasi. Skema pra-negoisasi ini membantu kita meningkatkan respons cepat dalam menangani bencana," imbuhnya.