BPI Danantara Setelah Batas 30% Kepemilikan Saham di Proyek Waste to Energy, Ini Kebijakan Lainnya
BPI (Badan Pengelola Investasi) Danantara menyatakan komitmen untuk memegang kepemilikan saham minimal 30 persen dalam setiap proyek waste to energy. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki visi untuk mengurangi dampak lingkungan dengan menggunakan teknologi waste to energy.
Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, menjelaskan bahwa meski ada batas minimal, perusahaannya tetap terbuka terhadap berbagai skema kepemilikan. "Kita bilangnya 30 persen paling tidak, tapi kita happy to take 51 persen atau lebih," kata Pandu.
Pandu juga menjelaskan bahwa fleksibilitas dalam struktur kepemilikan ini bertujuan untuk mendorong partisipasi swasta. Prinsipnya adalah proyek dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai anggaran.
Kebijakan ini juga menunjukkan bahwa BPI Danantara ingin private sector ikut bantu masuk ke situ. Mereka ingin memberikan insentif bagi sektor swasta untuk terlibat dalam proyek waste to energy, seperti kepastian waktu dan biaya yang terkendali.
Selain itu, Managing Director Investment di Danantara Indonesia, Stefanus Ade Hadiwidjaja, menjelaskan bahwa PSEL ditargetkan dibangun di 33 Provinsi di seluruh Indonesia. Namun, untuk tahap awal akan dibangun di 7 kota yang telah siap secara lahan, jumlah sampah 1.000 ton per hari, dan ketentuan administrasi lainnya.
Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun tiap PSEL dengan kapasitas 1.000 ton sampah per hari berkisar antara Rp2,5-3,2 triliun. Investasi satu PSEL itu bisa ranging dari Rp2,5 triliun sampai Rp 3,2 triliun untuk kapasitas 1.000 ton.
Proyek ini ditargetkan dapat menyerap tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Untuk tahap konstruksi, paling tidak akan menyerap 2.000-3.000 pekerja tidak langsung, dan sedangkan untuk serapan pekerja langsung akan mencapai 500 orang.
Dengan demikian, BPI Danantara berkomitmen untuk mengembangkan proyek waste to energy yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.
BPI (Badan Pengelola Investasi) Danantara menyatakan komitmen untuk memegang kepemilikan saham minimal 30 persen dalam setiap proyek waste to energy. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut memiliki visi untuk mengurangi dampak lingkungan dengan menggunakan teknologi waste to energy.
Chief Investment Officer (CIO) Danantara, Pandu Sjahrir, menjelaskan bahwa meski ada batas minimal, perusahaannya tetap terbuka terhadap berbagai skema kepemilikan. "Kita bilangnya 30 persen paling tidak, tapi kita happy to take 51 persen atau lebih," kata Pandu.
Pandu juga menjelaskan bahwa fleksibilitas dalam struktur kepemilikan ini bertujuan untuk mendorong partisipasi swasta. Prinsipnya adalah proyek dapat diselesaikan tepat waktu dan sesuai anggaran.
Kebijakan ini juga menunjukkan bahwa BPI Danantara ingin private sector ikut bantu masuk ke situ. Mereka ingin memberikan insentif bagi sektor swasta untuk terlibat dalam proyek waste to energy, seperti kepastian waktu dan biaya yang terkendali.
Selain itu, Managing Director Investment di Danantara Indonesia, Stefanus Ade Hadiwidjaja, menjelaskan bahwa PSEL ditargetkan dibangun di 33 Provinsi di seluruh Indonesia. Namun, untuk tahap awal akan dibangun di 7 kota yang telah siap secara lahan, jumlah sampah 1.000 ton per hari, dan ketentuan administrasi lainnya.
Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun tiap PSEL dengan kapasitas 1.000 ton sampah per hari berkisar antara Rp2,5-3,2 triliun. Investasi satu PSEL itu bisa ranging dari Rp2,5 triliun sampai Rp 3,2 triliun untuk kapasitas 1.000 ton.
Proyek ini ditargetkan dapat menyerap tenaga kerja langsung maupun tidak langsung. Untuk tahap konstruksi, paling tidak akan menyerap 2.000-3.000 pekerja tidak langsung, dan sedangkan untuk serapan pekerja langsung akan mencapai 500 orang.
Dengan demikian, BPI Danantara berkomitmen untuk mengembangkan proyek waste to energy yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.