China yang Semakin Baru-Baru Bertempur, Tetapi Belum Menang
Risiko krisis demografi di China semakin mendekati titik balik. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong keluarga besar, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa penerapan tersebut belum merata dan tidak konsisten di seluruh wilayah.
Kebijakan pronatalis yang diperlukan untuk menghadapi penurunan tingkat fertilitas belum terpenuhi. Birokrasi yang rumit serta keengganan Partai Komunis China mengakui kesalahan masa lalu mungkin menjadi penyebab utama dari hal ini.
China termasuk negara dengan tingkat fertilitas terendah di dunia, yaitu hampir mendekati 1,0. Selama tiga tahun terakhir, angka kematian bahkan melampaui angka kelahiran. Ini menjadi sebuah sinyal peringatan bagi masa depan ekonomi negara tersebut.
Kebijakan satupelanak yang diperkenalkan pada 2016 dan kemudian ditambah dengan kebijakan dua-anak, lalu tiga-anak pada 2021, namun jurang antara arahan pusat dan implementasi lokal justru melebar. Kota-kota kaya mampu memberi insentif besar dan inovatif, sementara daerah miskin tertinggal.
Program-program kebijakan pronatalis hanya berlaku untuk warga dengan registrasi rumah tangga lokal, membuat pekerja migran kesulitan mengakses manfaat. "Peluncuran yang sangat tidak merata ini menghasilkan mosaik kebijakan yang terfragmentasi," kata para peneliti dalam laporan tersebut.
Penurunan fertilitas di China mencerminkan tujuan fertilitas yang tidak terpenuhi, bukan kurangnya keinginan memiliki anak. Kebijakan pronatalis meleset dari sasaran karena hanya menyasar norma dan reformasi administratif, bukan kendala sosial dan ekonomi.
China juga meningkatkan investasi pada teknologi hemat tenaga kerja seperti kecerdasan buatan untuk mengatasi krisis demografi, namun efektivitasnya masih diragukan. "Hanya institusi perawatan lansia yang kaya sumber daya yang dapat memanfaatkan teknologi berbasis AI tercanggih," tulis para penulis, menegaskan bahwa dampak teknologi kemungkinan tidak merata.
Sementara itu, semakin banyak perempuan, khususnya berpendidikan tinggi, yang menunda atau mengurangi jumlah anak karena tekanan finansial dan waktu, terutama biaya pengasuhan serta harga perumahan.
Risiko krisis demografi di China semakin mendekati titik balik. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong keluarga besar, namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa penerapan tersebut belum merata dan tidak konsisten di seluruh wilayah.
Kebijakan pronatalis yang diperlukan untuk menghadapi penurunan tingkat fertilitas belum terpenuhi. Birokrasi yang rumit serta keengganan Partai Komunis China mengakui kesalahan masa lalu mungkin menjadi penyebab utama dari hal ini.
China termasuk negara dengan tingkat fertilitas terendah di dunia, yaitu hampir mendekati 1,0. Selama tiga tahun terakhir, angka kematian bahkan melampaui angka kelahiran. Ini menjadi sebuah sinyal peringatan bagi masa depan ekonomi negara tersebut.
Kebijakan satupelanak yang diperkenalkan pada 2016 dan kemudian ditambah dengan kebijakan dua-anak, lalu tiga-anak pada 2021, namun jurang antara arahan pusat dan implementasi lokal justru melebar. Kota-kota kaya mampu memberi insentif besar dan inovatif, sementara daerah miskin tertinggal.
Program-program kebijakan pronatalis hanya berlaku untuk warga dengan registrasi rumah tangga lokal, membuat pekerja migran kesulitan mengakses manfaat. "Peluncuran yang sangat tidak merata ini menghasilkan mosaik kebijakan yang terfragmentasi," kata para peneliti dalam laporan tersebut.
Penurunan fertilitas di China mencerminkan tujuan fertilitas yang tidak terpenuhi, bukan kurangnya keinginan memiliki anak. Kebijakan pronatalis meleset dari sasaran karena hanya menyasar norma dan reformasi administratif, bukan kendala sosial dan ekonomi.
China juga meningkatkan investasi pada teknologi hemat tenaga kerja seperti kecerdasan buatan untuk mengatasi krisis demografi, namun efektivitasnya masih diragukan. "Hanya institusi perawatan lansia yang kaya sumber daya yang dapat memanfaatkan teknologi berbasis AI tercanggih," tulis para penulis, menegaskan bahwa dampak teknologi kemungkinan tidak merata.
Sementara itu, semakin banyak perempuan, khususnya berpendidikan tinggi, yang menunda atau mengurangi jumlah anak karena tekanan finansial dan waktu, terutama biaya pengasuhan serta harga perumahan.