Pemerintah Provinsi Jawa Barat memutuskan untuk melakukan revitalisasi gerbang Gedung Sate dengan menghadirkan Candi Bentar bergaya Kacirebonan, yang diklaim sebagai identitas budaya Sunda-Cirebon. Pemutusan itu ditujukan bagi mereka yang tak percaya bahwa penambahan pagar lama pada masa kolonial bukan bagian dari rancangan asli gedung. Melihat hal tersebut ada kemungkinan ada penambahan pagar lama.
Bentuk Candi Bentar ini menonjolkan kepemimpinan estetika Sunda, sekaligus merepresentasikan warisan Mataram dan Majapahit. Dengan demikian gerbang baru tersebut lebih terbuka dan ramah disabilitas, serta dapat mengubah citra Gedung Sate dari kantor administratif tertutup menjadi ruang publik inklusif.
Namun ada pertanyaan tentang apakah proyek revitalisasi tersebut menyesuaikan dengan kebutuhan pelestarian situs budaya Sunda lainnya. Gerbang yang baru ini juga terasa menimbulkan tantangan, yaitu bagaimana arsitektur dipakai sebagai simbol kekuasaan.
Gerbang Gedung Sate dibangun pada masa kolonial dan merupakan karya Ir. Johan Gerber dan timnya. Gaya bangunan mengikuti prinsip Renaissance Italia yang menonjolkan simetri dan keteraturan fasad. Jendelanya bergaya Moorish dengan lengkungan khas, sementara atap βtusuk sateβ menyerupai Meru Bali atau pagoda Asia.
Candi Bentar adalah gabungan dari dua kata yaitu "candi" dan "bentar". Secara etimologis, Candi Bentar artinya candi yang terbelah dua. Berbeda dengan Paduraksa yang memiliki atap dan pintu, Candi Bentar berdiri sebagai dua bangunan simetris tanpa penghubung, membentuk lorong terbuka ke langit.
Menurut ahli, Candi Bentar merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa kolonial, lanskapnya dirancang terbuka tanpa pagar. Poros visual utara-selatan menghubungkan gedung dengan Gunung Tangkuban Perahu. Adapun pagar keliling yang sekarang berdiri dan dibangun pada 1980-an bukanlah warisan kolonial.
Candi Bentar dipilih untuk menonjolkan kepemimpinan estetika Sunda, sekaligus merepresentasikan warisan Mataram dan Majapahit. Dengan demikian gerbang baru tersebut lebih terbuka dan ramah disabilitas, serta dapat mengubah citra Gedung Sate dari kantor administratif tertutup menjadi ruang publik inklusif.
Namun ada kemungkinan bahwa penambahan pagar lama pada masa kolonial bukan bagian dari rancangan asli gedung. Melihat hal tersebut ada kemungkinan ada penambahan pagar lama.
Pada masa Majapahit, Candi Bentar berkembang menjadi komponen integral dari sistem tata ruang pura, dipandu oleh konsep Asta Kosala Kosali, sebuah lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral.
Di Bali, Candi Bentar memiliki bentuk yang berbeda dengan Candi Penataran, yang menegaskan bahwa pada puncak kejayaan Majapahit, bentuk ini sudah menjadi standar arsitektur. Karakteristiknya ramping menjulang, bata merah ekspos, dan teknik kosod tanpa semen.
Candi Bentar juga merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa Islam, simbol lama tidak dimusnahkan dan dipertahankan sebagai medium dakwah.
Di Masjid Menara Kudus, Sunan Kudus mempertahankan menara bergaya Hindu dan gerbang Candi Bentar agar masyarakat Hindu tidak merasa asing saat memasuki masjid. Strategi ini menjadi simbol toleransi dan dakwah damai.
Candi Bentar juga merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa kolonial, lanskapnya dirancang terbuka tanpa pagar. Poros visual utara-selatan menghubungkan gedung dengan Gunung Tangkuban Perahu.
Candi Bentar memiliki makna simbolis yang mendalam, yaitu sebagai gerbang atau gapura. Berbeda dari konsep Barat yang menekankan fungsi masuk, gerbang di sini lebih menekankan proses keluar, sebuah kelahiran kembali.
Gerbang tersebut juga merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa Majapahit, Candi Bentar berkembang menjadi komponen integral dari sistem tata ruang pura, dipandu oleh konsep Asta Kosala Kosali.
Candi Bentar memiliki bentuk yang unik dan menonjolkan kepemimpinan estetika Sunda, sekaligus merepresentasikan warisan Mataram dan Majapahit. Dengan demikian gerbang baru tersebut lebih terbuka dan ramah disabilitas, serta dapat mengubah citra Gedung Sate dari kantor administratif tertutup menjadi ruang publik inklusif.
Namun ada kemungkinan bahwa penambahan pagar lama pada masa kolonial bukan bagian dari rancangan asli gedung. Melihat hal tersebut ada kemungkinan ada penambahan pagar lama.
Pada akhirnya, Candi Bentar merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa Majapahit, Candi Bentar berkembang menjadi komponen integral dari sistem tata ruang pura, dipandu oleh konsep Asta Kosala Kosali.
Bentuk Candi Bentar ini menonjolkan kepemimpinan estetika Sunda, sekaligus merepresentasikan warisan Mataram dan Majapahit. Dengan demikian gerbang baru tersebut lebih terbuka dan ramah disabilitas, serta dapat mengubah citra Gedung Sate dari kantor administratif tertutup menjadi ruang publik inklusif.
Namun ada pertanyaan tentang apakah proyek revitalisasi tersebut menyesuaikan dengan kebutuhan pelestarian situs budaya Sunda lainnya. Gerbang yang baru ini juga terasa menimbulkan tantangan, yaitu bagaimana arsitektur dipakai sebagai simbol kekuasaan.
Gerbang Gedung Sate dibangun pada masa kolonial dan merupakan karya Ir. Johan Gerber dan timnya. Gaya bangunan mengikuti prinsip Renaissance Italia yang menonjolkan simetri dan keteraturan fasad. Jendelanya bergaya Moorish dengan lengkungan khas, sementara atap βtusuk sateβ menyerupai Meru Bali atau pagoda Asia.
Candi Bentar adalah gabungan dari dua kata yaitu "candi" dan "bentar". Secara etimologis, Candi Bentar artinya candi yang terbelah dua. Berbeda dengan Paduraksa yang memiliki atap dan pintu, Candi Bentar berdiri sebagai dua bangunan simetris tanpa penghubung, membentuk lorong terbuka ke langit.
Menurut ahli, Candi Bentar merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa kolonial, lanskapnya dirancang terbuka tanpa pagar. Poros visual utara-selatan menghubungkan gedung dengan Gunung Tangkuban Perahu. Adapun pagar keliling yang sekarang berdiri dan dibangun pada 1980-an bukanlah warisan kolonial.
Candi Bentar dipilih untuk menonjolkan kepemimpinan estetika Sunda, sekaligus merepresentasikan warisan Mataram dan Majapahit. Dengan demikian gerbang baru tersebut lebih terbuka dan ramah disabilitas, serta dapat mengubah citra Gedung Sate dari kantor administratif tertutup menjadi ruang publik inklusif.
Namun ada kemungkinan bahwa penambahan pagar lama pada masa kolonial bukan bagian dari rancangan asli gedung. Melihat hal tersebut ada kemungkinan ada penambahan pagar lama.
Pada masa Majapahit, Candi Bentar berkembang menjadi komponen integral dari sistem tata ruang pura, dipandu oleh konsep Asta Kosala Kosali, sebuah lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral.
Di Bali, Candi Bentar memiliki bentuk yang berbeda dengan Candi Penataran, yang menegaskan bahwa pada puncak kejayaan Majapahit, bentuk ini sudah menjadi standar arsitektur. Karakteristiknya ramping menjulang, bata merah ekspos, dan teknik kosod tanpa semen.
Candi Bentar juga merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa Islam, simbol lama tidak dimusnahkan dan dipertahankan sebagai medium dakwah.
Di Masjid Menara Kudus, Sunan Kudus mempertahankan menara bergaya Hindu dan gerbang Candi Bentar agar masyarakat Hindu tidak merasa asing saat memasuki masjid. Strategi ini menjadi simbol toleransi dan dakwah damai.
Candi Bentar juga merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa kolonial, lanskapnya dirancang terbuka tanpa pagar. Poros visual utara-selatan menghubungkan gedung dengan Gunung Tangkuban Perahu.
Candi Bentar memiliki makna simbolis yang mendalam, yaitu sebagai gerbang atau gapura. Berbeda dari konsep Barat yang menekankan fungsi masuk, gerbang di sini lebih menekankan proses keluar, sebuah kelahiran kembali.
Gerbang tersebut juga merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa Majapahit, Candi Bentar berkembang menjadi komponen integral dari sistem tata ruang pura, dipandu oleh konsep Asta Kosala Kosali.
Candi Bentar memiliki bentuk yang unik dan menonjolkan kepemimpinan estetika Sunda, sekaligus merepresentasikan warisan Mataram dan Majapahit. Dengan demikian gerbang baru tersebut lebih terbuka dan ramah disabilitas, serta dapat mengubah citra Gedung Sate dari kantor administratif tertutup menjadi ruang publik inklusif.
Namun ada kemungkinan bahwa penambahan pagar lama pada masa kolonial bukan bagian dari rancangan asli gedung. Melihat hal tersebut ada kemungkinan ada penambahan pagar lama.
Pada akhirnya, Candi Bentar merupakan bagian dari lontar tradisional yang mengatur prinsip-prinsip desain arsitektur sakral. Pada masa Majapahit, Candi Bentar berkembang menjadi komponen integral dari sistem tata ruang pura, dipandu oleh konsep Asta Kosala Kosali.