"Kerja Sambilan Tidak Berkelanjutan, Buruh DIY Demands Fair Pay dan Resolusi Konflik"
Bulan ini, berbagai kelompok buruh di sektor konstruksi atau "DIY" (Do-It-Yourself) mempermasalahkan keterpurukan upah mereka yang tidak kunjung membaik. Meskipun telah melalui beberapa protes dan demonstrasi, kebutuhan akan upah yang layak dan penyelesaian sengketa industri masih menjadi masalah utama bagi para pekerja ini.
Menurut salah satu pelapor, sekitar 70% dari para buruh DIY di Indonesia tidak menerima upah yang wajar. "Sekitar Rp 500.000-Rp 1.000.000 per bulan, itu sudah menjadi hal normal," kata pelapor yang wishes menyebutkan dirinya sebagai ahli hukum kerja.
Bahkan, beberapa buruh DIY telah mengalami kesulitan meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, bahkan tidak mampu membayar tagihan listrik. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ini terus menekankan perlu ada penyelesaian konflik yang segera dan tanpa syarat.
"Kita tidak meminta upah langka, tapi upah yang layak," kata Ketua Dewan Karyawan Indonesia (DKI) yang juga merupakan salah satu pekerja DIY. "Perusahan harus mengakui kembali kebutuhan kita sebagai pekerja ini."
Penyebab utama keterpurukan upah di sektor DIY menurut pelapor adalah karena kurangnya regulasi yang kuat dan pelanggaran hak-hak pekerja oleh beberapa perusahaan. Hal ini memicu keluh kesah, sehingga para buruh DIY terus melakukan aksi protes untuk mendapatkan hak mereka.
"Kita tidak akan menyerah," kata seorang pekerja DIY yang masih aktif dalam aktivitas ini. "Kita akan terus berjuang hingga kita mendapatkan upah yang layak dan perusahaan mengakui keberatan kita."
Bulan ini, berbagai kelompok buruh di sektor konstruksi atau "DIY" (Do-It-Yourself) mempermasalahkan keterpurukan upah mereka yang tidak kunjung membaik. Meskipun telah melalui beberapa protes dan demonstrasi, kebutuhan akan upah yang layak dan penyelesaian sengketa industri masih menjadi masalah utama bagi para pekerja ini.
Menurut salah satu pelapor, sekitar 70% dari para buruh DIY di Indonesia tidak menerima upah yang wajar. "Sekitar Rp 500.000-Rp 1.000.000 per bulan, itu sudah menjadi hal normal," kata pelapor yang wishes menyebutkan dirinya sebagai ahli hukum kerja.
Bahkan, beberapa buruh DIY telah mengalami kesulitan meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, bahkan tidak mampu membayar tagihan listrik. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ini terus menekankan perlu ada penyelesaian konflik yang segera dan tanpa syarat.
"Kita tidak meminta upah langka, tapi upah yang layak," kata Ketua Dewan Karyawan Indonesia (DKI) yang juga merupakan salah satu pekerja DIY. "Perusahan harus mengakui kembali kebutuhan kita sebagai pekerja ini."
Penyebab utama keterpurukan upah di sektor DIY menurut pelapor adalah karena kurangnya regulasi yang kuat dan pelanggaran hak-hak pekerja oleh beberapa perusahaan. Hal ini memicu keluh kesah, sehingga para buruh DIY terus melakukan aksi protes untuk mendapatkan hak mereka.
"Kita tidak akan menyerah," kata seorang pekerja DIY yang masih aktif dalam aktivitas ini. "Kita akan terus berjuang hingga kita mendapatkan upah yang layak dan perusahaan mengakui keberatan kita."