Bunga di Dunia yang Kehilangan Waktu
Di tengah-tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kita perlu menoleh ke belakang dan melihat ke dalam. Bunga, yang sudah menjadi kompas moral peradaban, kini telah kehilangan maknanya. Ia tidak lagi berarti "imbalan atas waktu" karena waktu baginya sudah berhenti.
Pada awalnya, bunga lahir dari kesabaran manusia yang menunda keinginan demi masa depan. Pinjam satu karung gandum, kembalikan satu karung plus hasil panen dari tanah subur. Bayangkan, bunga pertama di dunia adalah anak dari hasil bumi. Betapa indah, betapa alami.
Namun sejarah berkembang ke sisi moral. Di dalam Taurat, bunga disebut Neshek dan dianggap dosa jika diterapkan pada sesama umat. "Janganlah engkau mengambil bunga dari saudaramu." Begitu kira-kira bunyinya. Namun hal ini boleh kepada orang asing, yang menandakan bahwa ekonomi sudah mulai memisahkan antara "kita" dan "mereka".
Dalam dunia Ibrani dan kemudian Kristen awal, bunga dianggap pencurian atas waktu Tuhan. Karena waktu adalah milik-Nya, bukan untuk diperjualbelikan. Dalam Al-Qur'an, larangan riba bukan sekadar perintah moral, tapi pengingat kosmis.
Allah berfirman: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." (QS. Al-Baqarah: 276). Ayat itu seolah mengatakan: riba menolak hukum waktu. Karena riba mengeklaim bahwa nilai bisa tumbuh tanpa usaha, tanpa keringat, padahal hanya Tuhan yang menumbuhkan sesuatu tanpa sebab langsung.
Aristoteles pun bersuara: uang yang menghasilkan uang adalah unnatural. Dari situlah lahir keyakinan panjang, selama berabad-abad, bahwa bunga adalah sesuatu yang berdosa.
Namun waktu dan perubahan zaman mengubah beberapa hal. Pada abad ke-12, Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae singkatnya menyatakan bahwa, bunga sebagai "penjualan waktu" adalah dilarang, tapi membolehkan nilai tambah sebagai "imbalan atas risiko atau kerugian".
Abad ke-12 hingga 15, di kota-kota Italia seperti Firenze dan Venice, para pedagang menemukan cara mengakali dosa itu. Mereka tidak menyebutnya "bunga", tapi compensatio, discount, exchange rate differential. Semuanya adalah nama baru untuk hal yang sama: mereka menjual waktu, tapi menyebutnya perdagangan mata uang.
Bankir-bankir seperti keluarga Medici menyempurnakan seni itu. Mereka menemukan cara menyamarkan bunga dalam sistem perhitungan tukar uang antar kota. Dan dari situ, bunga menjadi teknologi moral baru: ia tidak lagi disebut dosa, tapi "imbalan atas risiko".
Masyarakat perlahan melunak, dan dunia modern lahir. Uang kini punya harga. Dan harga itu adalah bunga. Ketika Adam Smith menulis Wealth of Nations, bunga telah menjadi pusat gravitasi kapitalisme. Ia bukan lagi soal moral, tapi soal harga atas kesabaran dan risiko.
Lalu datang John Maynard Keynes, yang melihat bunga dengan mata berbeda. Baginya, bunga bukan penghargaan bagi penabung, melainkan hukuman bagi ketakutan, Karena bunga tinggi menandakan dunia yang tak percaya masa depan, dan bunga rendah menandakan keberanian untuk berharap.
Kini kita hidup di zaman ketika suku bunga menjadi mantra para dewa ekonomi. Satu kalimat dari Jerome Powell bisa mengguncang benua. Bunga naik, dunia menahan napas; bunga turun, pasar bersorak, seolah Tuhan memberi izin untuk berutang lagi.
Bunga tidak lagi sekadar harga waktu. Ia telah menjadi harga kepercayaan. Dan ironisnya, semakin kita bergantung padanya, semakin kita kehilangan makna aslinya.
Di kota yang selalu terang, ada seorang anak muda bernama Rafi. Ia bekerja keras, menabung setiap bulan, tapi setiap kali membuka aplikasi properti di ponselnya, jarak antara gajinya dan harga rumah semakin melebar, seperti garis lurus yang tak pernah bertemu.
Ia tahu suku bunga makin rendah; bank bahkan menawarkan cicilan murah. Namun setiap kali bunga turun, harga rumah naik lebih cepat dari impian. Ia menatap brosur KPR dengan wajah hampa, bunga rendah, tapi jarak antara harapan dan kenyataan tetap tak terjangkau.
Bunga dulu adalah kompensasi untuk menunda kesenangan dan ia bernilai. Tapi kini, bahkan kesabaran tidak lagi dihargai, mimpi Rafi punya rumah semakin jauh. Semuanya berutang, bukan karena percaya pada masa depan, tapi karena takut tertinggal.
Sementara di sisi lain kota, ada seorang pria tua bernama Leonard. Ia kaya, terlalu kaya untuk tahu pasti berapa banyak yang ia miliki. Ia memiliki saham di sepuluh perusahaan, properti di empat negara, dan dua koleksi seni yang nilainya naik setiap kali dunia cemas.
Namun di malam hari, ia tidak bisa tidur. Bukan karena takut rugi, tapi karena tak tahu untuk apa semua angka itu. Bunga tak lagi berarti "imbalan atas waktu", karena waktu baginya sudah berhenti, ia tidak lagi bekerja, tidak lagi menunggu, hanya menghitung.
Rafi ingin membeli waktu, Leonard ingin menghabiskannya. Dan di antara mereka, berdirilah pasar keuangan, tempat waktu diperjualbelikan, tapi tak lagi dimengerti.
Bunga pernah menjadi kompas moral peradaban: ia memberi harga pada kesabaran, ia menyeimbangkan hari ini dan esok, membuat penjelajah dan para penemu bisa membawa hal-hal yang menakjubkan. Namun kini, bunga naik dan turun tanpa makna, karena dunia lebih takut pada stagnasi daripada keserakahan.
Orang-orang seperti Rafi disuruh "berutang lebih banyak agar ekonomi tetap tumbuh". Tapi bagaimana mungkin sebuah bangsa hidup hanya dari masa depan yang digadaikan? Sementara itu, mereka yang sudah kaya seperti Leonard melihat kekayaan mereka menggelembung tanpa arah, karena modal mencari tempat bersembunyi dari bunga yang hilang.
Mereka membeli tanah, lukisan, startup, bahkan mimpi. Dan di antara transaksi-transaksi itu, mereka tanpa sadar membeli dunia dari orang-orang seperti Rafi. Ketika bunga mati, yang mati bukan hanya mekanisme ekonomi, tetapi rasa waktu itu sendiri.
Dulu, orang belajar bersyukur karena menunggu. Kini, mereka gelisah bahkan saat memiliki segalanya. Bunga yang pernah lahir dari kesabaran dan kepercayaan akan masa depan telah berubah menjadi instrumen ketakutan. Kita berutang bukan karena percaya pada masa depan, tapi karena takut ketinggalan darinya.
Dan begitulah, Dari butir gandum di Sumeria hingga algoritma suku bunga Bank Sentral, kisah bunga adalah kisah manusia belajar memperdagangkan waktu, dan perlahan kehilangan makna kesabarannya. Kini bunga menjadi sinyal, bukan kebijaksanaan. Ia memutuskan nasib bangsa dan harga rumah tangga. Ia bukan lagi anak dari bumi, tapi anak dari spreadsheet.
Namun aku percaya, di dalam sejarah panjang itu masih ada gema lembut: bahwa di setiap basis poin yang diturunkan, di setiap pinjaman yang diberi, masih ada sisa harapan kecil, bahwa manusia bisa meminjam waktu dari Tuhan, dan mengembalikannya dengan rasa syukur.
Di tengah-tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kita perlu menoleh ke belakang dan melihat ke dalam. Bunga, yang sudah menjadi kompas moral peradaban, kini telah kehilangan maknanya. Ia tidak lagi berarti "imbalan atas waktu" karena waktu baginya sudah berhenti.
Pada awalnya, bunga lahir dari kesabaran manusia yang menunda keinginan demi masa depan. Pinjam satu karung gandum, kembalikan satu karung plus hasil panen dari tanah subur. Bayangkan, bunga pertama di dunia adalah anak dari hasil bumi. Betapa indah, betapa alami.
Namun sejarah berkembang ke sisi moral. Di dalam Taurat, bunga disebut Neshek dan dianggap dosa jika diterapkan pada sesama umat. "Janganlah engkau mengambil bunga dari saudaramu." Begitu kira-kira bunyinya. Namun hal ini boleh kepada orang asing, yang menandakan bahwa ekonomi sudah mulai memisahkan antara "kita" dan "mereka".
Dalam dunia Ibrani dan kemudian Kristen awal, bunga dianggap pencurian atas waktu Tuhan. Karena waktu adalah milik-Nya, bukan untuk diperjualbelikan. Dalam Al-Qur'an, larangan riba bukan sekadar perintah moral, tapi pengingat kosmis.
Allah berfirman: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah." (QS. Al-Baqarah: 276). Ayat itu seolah mengatakan: riba menolak hukum waktu. Karena riba mengeklaim bahwa nilai bisa tumbuh tanpa usaha, tanpa keringat, padahal hanya Tuhan yang menumbuhkan sesuatu tanpa sebab langsung.
Aristoteles pun bersuara: uang yang menghasilkan uang adalah unnatural. Dari situlah lahir keyakinan panjang, selama berabad-abad, bahwa bunga adalah sesuatu yang berdosa.
Namun waktu dan perubahan zaman mengubah beberapa hal. Pada abad ke-12, Thomas Aquinas dalam Summa Theologiae singkatnya menyatakan bahwa, bunga sebagai "penjualan waktu" adalah dilarang, tapi membolehkan nilai tambah sebagai "imbalan atas risiko atau kerugian".
Abad ke-12 hingga 15, di kota-kota Italia seperti Firenze dan Venice, para pedagang menemukan cara mengakali dosa itu. Mereka tidak menyebutnya "bunga", tapi compensatio, discount, exchange rate differential. Semuanya adalah nama baru untuk hal yang sama: mereka menjual waktu, tapi menyebutnya perdagangan mata uang.
Bankir-bankir seperti keluarga Medici menyempurnakan seni itu. Mereka menemukan cara menyamarkan bunga dalam sistem perhitungan tukar uang antar kota. Dan dari situ, bunga menjadi teknologi moral baru: ia tidak lagi disebut dosa, tapi "imbalan atas risiko".
Masyarakat perlahan melunak, dan dunia modern lahir. Uang kini punya harga. Dan harga itu adalah bunga. Ketika Adam Smith menulis Wealth of Nations, bunga telah menjadi pusat gravitasi kapitalisme. Ia bukan lagi soal moral, tapi soal harga atas kesabaran dan risiko.
Lalu datang John Maynard Keynes, yang melihat bunga dengan mata berbeda. Baginya, bunga bukan penghargaan bagi penabung, melainkan hukuman bagi ketakutan, Karena bunga tinggi menandakan dunia yang tak percaya masa depan, dan bunga rendah menandakan keberanian untuk berharap.
Kini kita hidup di zaman ketika suku bunga menjadi mantra para dewa ekonomi. Satu kalimat dari Jerome Powell bisa mengguncang benua. Bunga naik, dunia menahan napas; bunga turun, pasar bersorak, seolah Tuhan memberi izin untuk berutang lagi.
Bunga tidak lagi sekadar harga waktu. Ia telah menjadi harga kepercayaan. Dan ironisnya, semakin kita bergantung padanya, semakin kita kehilangan makna aslinya.
Di kota yang selalu terang, ada seorang anak muda bernama Rafi. Ia bekerja keras, menabung setiap bulan, tapi setiap kali membuka aplikasi properti di ponselnya, jarak antara gajinya dan harga rumah semakin melebar, seperti garis lurus yang tak pernah bertemu.
Ia tahu suku bunga makin rendah; bank bahkan menawarkan cicilan murah. Namun setiap kali bunga turun, harga rumah naik lebih cepat dari impian. Ia menatap brosur KPR dengan wajah hampa, bunga rendah, tapi jarak antara harapan dan kenyataan tetap tak terjangkau.
Bunga dulu adalah kompensasi untuk menunda kesenangan dan ia bernilai. Tapi kini, bahkan kesabaran tidak lagi dihargai, mimpi Rafi punya rumah semakin jauh. Semuanya berutang, bukan karena percaya pada masa depan, tapi karena takut tertinggal.
Sementara di sisi lain kota, ada seorang pria tua bernama Leonard. Ia kaya, terlalu kaya untuk tahu pasti berapa banyak yang ia miliki. Ia memiliki saham di sepuluh perusahaan, properti di empat negara, dan dua koleksi seni yang nilainya naik setiap kali dunia cemas.
Namun di malam hari, ia tidak bisa tidur. Bukan karena takut rugi, tapi karena tak tahu untuk apa semua angka itu. Bunga tak lagi berarti "imbalan atas waktu", karena waktu baginya sudah berhenti, ia tidak lagi bekerja, tidak lagi menunggu, hanya menghitung.
Rafi ingin membeli waktu, Leonard ingin menghabiskannya. Dan di antara mereka, berdirilah pasar keuangan, tempat waktu diperjualbelikan, tapi tak lagi dimengerti.
Bunga pernah menjadi kompas moral peradaban: ia memberi harga pada kesabaran, ia menyeimbangkan hari ini dan esok, membuat penjelajah dan para penemu bisa membawa hal-hal yang menakjubkan. Namun kini, bunga naik dan turun tanpa makna, karena dunia lebih takut pada stagnasi daripada keserakahan.
Orang-orang seperti Rafi disuruh "berutang lebih banyak agar ekonomi tetap tumbuh". Tapi bagaimana mungkin sebuah bangsa hidup hanya dari masa depan yang digadaikan? Sementara itu, mereka yang sudah kaya seperti Leonard melihat kekayaan mereka menggelembung tanpa arah, karena modal mencari tempat bersembunyi dari bunga yang hilang.
Mereka membeli tanah, lukisan, startup, bahkan mimpi. Dan di antara transaksi-transaksi itu, mereka tanpa sadar membeli dunia dari orang-orang seperti Rafi. Ketika bunga mati, yang mati bukan hanya mekanisme ekonomi, tetapi rasa waktu itu sendiri.
Dulu, orang belajar bersyukur karena menunggu. Kini, mereka gelisah bahkan saat memiliki segalanya. Bunga yang pernah lahir dari kesabaran dan kepercayaan akan masa depan telah berubah menjadi instrumen ketakutan. Kita berutang bukan karena percaya pada masa depan, tapi karena takut ketinggalan darinya.
Dan begitulah, Dari butir gandum di Sumeria hingga algoritma suku bunga Bank Sentral, kisah bunga adalah kisah manusia belajar memperdagangkan waktu, dan perlahan kehilangan makna kesabarannya. Kini bunga menjadi sinyal, bukan kebijaksanaan. Ia memutuskan nasib bangsa dan harga rumah tangga. Ia bukan lagi anak dari bumi, tapi anak dari spreadsheet.
Namun aku percaya, di dalam sejarah panjang itu masih ada gema lembut: bahwa di setiap basis poin yang diturunkan, di setiap pinjaman yang diberi, masih ada sisa harapan kecil, bahwa manusia bisa meminjam waktu dari Tuhan, dan mengembalikannya dengan rasa syukur.