Presiden Trump kembali membuat Amerika Serikat (AS) marah terhadap negara Asia, kali ini India. Menurut Atman Trivedi, pemimpin South Asia Practice di DGA-Albright Stonebridge Group, hubungan antara AS dan India sudah runtuh. Hal ini karena AS menetapkan tarif dagang yang tinggi untuk barang-barang impor dari India.
Tarif yang berlebihan tersebut memang mengacu pada keputusan Trump untuk menetapkan biaya visa H1B sebesar U$100.000, hal ini membuat banyak perusahaan AS bingung karena harus membayar biaya tersebut kepada pekerja India yang sedang bekerja di Amerika.
"Sekarang, India akan menjadi negara paling mahal dan tidak terjangkau untuk perusahaan AS," ujar Trivedi. Dengan demikian hubungan antara New Delhi dan Washington mulai terkikis secara substansial.
Selama masa jabatan Trump sebagai presiden, kebijakan luar negerinya lebih menghargai India yang demokratis daripada China yang otokratis. Namun, sekarang kebijakannya sudah berubah.
"Presiden Trump jelas tidak menghargai India seperti presiden-presedenya," kata Raymond Vickery Jr., rekan senior dan ketua bidang Ekonomi India dan Asia yang sedang berkembang di Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Pendekatan terhadap India sekarang telah bergeser dari altruisme strategis menjadi transaksionalisme. Hal ini memang jadi peringatan bagi New Delhi agar lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan Amerika Serikat.
Sementara itu, hubungan antara AS dan China tampaknya membaik. Trump mengatakan bahwa pertemuan G2 antara dirinya dan Xi Jinping adalah pertemuan yang luar biasa bagi kedua negara. Pada pertemuan tersebut, tarif impor atas barang-barang China diberikan pengurangan sebesar 10%.
Tarif yang berlebihan tersebut memang mengacu pada keputusan Trump untuk menetapkan biaya visa H1B sebesar U$100.000, hal ini membuat banyak perusahaan AS bingung karena harus membayar biaya tersebut kepada pekerja India yang sedang bekerja di Amerika.
"Sekarang, India akan menjadi negara paling mahal dan tidak terjangkau untuk perusahaan AS," ujar Trivedi. Dengan demikian hubungan antara New Delhi dan Washington mulai terkikis secara substansial.
Selama masa jabatan Trump sebagai presiden, kebijakan luar negerinya lebih menghargai India yang demokratis daripada China yang otokratis. Namun, sekarang kebijakannya sudah berubah.
"Presiden Trump jelas tidak menghargai India seperti presiden-presedenya," kata Raymond Vickery Jr., rekan senior dan ketua bidang Ekonomi India dan Asia yang sedang berkembang di Center for Strategic and International Studies (CSIS).
Pendekatan terhadap India sekarang telah bergeser dari altruisme strategis menjadi transaksionalisme. Hal ini memang jadi peringatan bagi New Delhi agar lebih berhati-hati dalam berinteraksi dengan Amerika Serikat.
Sementara itu, hubungan antara AS dan China tampaknya membaik. Trump mengatakan bahwa pertemuan G2 antara dirinya dan Xi Jinping adalah pertemuan yang luar biasa bagi kedua negara. Pada pertemuan tersebut, tarif impor atas barang-barang China diberikan pengurangan sebesar 10%.