Korupsi di Indonesia tidak pernah menjadi sesuatu yang baru, tetapi apa yang menarik adalah bagaimana Kejaksaan Agung berhasil mengungkapnya. Salah satu sosok yang perlu disebutkan adalah Baharuddin Lopa, Jaksa Agung ke-17 Republik Indonesia.
Loba dikenal sebagai penegak hukum yang keras dan tidak takut kepada siapa pun. Dia mulai kariernya sebagai jaksa pada tahun 1958 di Kejaksaan Negeri Kelas I Makassar. Loba selalu berjuang untuk menyelamatkan uang negara dari tangan koruptor.
Dia memiliki karier yang menanjak hingga akhirnya diangkat sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada Juni 2001. Penunjukan itu datang di tengah tuntutan reformasi besar-besaran untuk membersihkan Indonesia dari praktik korupsi yang mengakar sejak era Orde Baru.
Sayangnya, masa tugasnya sangat singkat. Sebulan kemudian, tepat pada 2 Juli 2001, Loba jatuh sakit saat menghadiri serah terima jabatan Duta Besar RI sekaligus menunaikan umrah. Dia mual, muntah, lalu tak sadarkan diri. Keesokan harinya, 3 Juli 2001, Baharuddin Lopa meninggal dunia.
Loba disegani karena kesederhanaannya. Dia hidup jauh dari kemewahan. Rumahnya di Makassar sangat sederhana, tanpa perabot mahal. Begitu juga rumah di Jakarta. Mobil pribadinya hanya satu, Toyota Kijang, dan dia melarang keluarga mengguna mobil dinas untuk urusan pribadi.
Kesederhanaan itu membuat atasannya Jaksa Agung Ali Said mengungkap kalau Loba memang miskin. Ali menutupkan bahwa Loba tidak pernah menggunakan fasilitas yang luxurious seperti jaksa agung lainnya. Saya rasa ini adalah pelajaran bagi kita semua untuk jujur dan sederhana, seperti yang dilakukan oleh Baharuddin Lopa.
Pada saat itulah, banyak orang menangis saat mengetahui dia wafat. Tidak hanya sebulan. Sebab dia menjadi sosok langka di tengah kerasnya dunia hukum dan politik Indonesia.
Loba dikenal sebagai penegak hukum yang keras dan tidak takut kepada siapa pun. Dia mulai kariernya sebagai jaksa pada tahun 1958 di Kejaksaan Negeri Kelas I Makassar. Loba selalu berjuang untuk menyelamatkan uang negara dari tangan koruptor.
Dia memiliki karier yang menanjak hingga akhirnya diangkat sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada Juni 2001. Penunjukan itu datang di tengah tuntutan reformasi besar-besaran untuk membersihkan Indonesia dari praktik korupsi yang mengakar sejak era Orde Baru.
Sayangnya, masa tugasnya sangat singkat. Sebulan kemudian, tepat pada 2 Juli 2001, Loba jatuh sakit saat menghadiri serah terima jabatan Duta Besar RI sekaligus menunaikan umrah. Dia mual, muntah, lalu tak sadarkan diri. Keesokan harinya, 3 Juli 2001, Baharuddin Lopa meninggal dunia.
Loba disegani karena kesederhanaannya. Dia hidup jauh dari kemewahan. Rumahnya di Makassar sangat sederhana, tanpa perabot mahal. Begitu juga rumah di Jakarta. Mobil pribadinya hanya satu, Toyota Kijang, dan dia melarang keluarga mengguna mobil dinas untuk urusan pribadi.
Kesederhanaan itu membuat atasannya Jaksa Agung Ali Said mengungkap kalau Loba memang miskin. Ali menutupkan bahwa Loba tidak pernah menggunakan fasilitas yang luxurious seperti jaksa agung lainnya. Saya rasa ini adalah pelajaran bagi kita semua untuk jujur dan sederhana, seperti yang dilakukan oleh Baharuddin Lopa.
Pada saat itulah, banyak orang menangis saat mengetahui dia wafat. Tidak hanya sebulan. Sebab dia menjadi sosok langka di tengah kerasnya dunia hukum dan politik Indonesia.