Bencana hidrometeorologi yang melanda beberapa wilayah di Sumatera, terutama Aceh dan Sumatera Utara, akhirnya dinyatakan sebagai hasil dari kegagalan sistem tata kelola ekologis yang kronis. Skala kerusakan ini sangatlah besar sehingga memerlukan respons yang solidaritas nasional, tetapi perlu diingat bahwa beberapa wilayah tidak terkena dampak langsung banjir, namun longsor sudah memutus jalur logistik vital dan menyebabkan sulit melakukan evakuasi dan distribusi bantuan.
Menurut peneliti The Prakarsa, Ari Wibowo, pemerintah tidak boleh terjebak dalam perdebatan administratif tentang status bencana daerah atau nasional. Pemerintah harus segera hadir mengorkestrasi kolaborasi lintas pihak dan tidak ada jeda untuk kemanusiaan. Korban sudah terdampak buruk oleh tata kelola lingkungan yang salah, sehingga jangan sampai mereka kehilangan harapan masa depan karena hambatan koordinasi.
Ema Kurnia Aminnisa, peneliti Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The Prakarsa, mengungkapkan kekhawatirannya terkait ketersediaan ruang fiskal pascaefisiensi anggaran pusat. Dia menilai bahwa Indonesia tengah dihadapkan dengan kebijakan yang meningkat drastis akibat risiko bencana yang meningkat karena krisis iklim dan kerusakan ekologi.
Ema meminta agar pemerintah pusat segera menjembatani kesenjangan pembiayaan ini untuk memastikan wilayah terdepan yang sulit dijangkau tetap mendapatkan bantuan. Dia juga menyebut respons bencana tidak boleh berhenti pada penyediaan logistik dan perbaikan infrastruktur, melainkan harus ada perubahan fundamental dalam ekosistem regulasi dan pola pikir tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Pemerintah dinilai perlu mengambil peran aktif dalam mengorkestrasi sumber daya dan operasi darurat untuk memastikan kecepatan distribusi logistik ke wilayah terisolasi berjalan efektif tanpa menegasikan peran pemerintah daerah. Pemerintah juga harus memasukkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang masif diakibatkan oleh kesalahan tata kelola dan ekspansi bisnis skala besar tanpa mitigasi risiko ke dalam definisi kerugian negara, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Menurut peneliti The Prakarsa, Ari Wibowo, pemerintah tidak boleh terjebak dalam perdebatan administratif tentang status bencana daerah atau nasional. Pemerintah harus segera hadir mengorkestrasi kolaborasi lintas pihak dan tidak ada jeda untuk kemanusiaan. Korban sudah terdampak buruk oleh tata kelola lingkungan yang salah, sehingga jangan sampai mereka kehilangan harapan masa depan karena hambatan koordinasi.
Ema Kurnia Aminnisa, peneliti Kebijakan Ekonomi dan Fiskal The Prakarsa, mengungkapkan kekhawatirannya terkait ketersediaan ruang fiskal pascaefisiensi anggaran pusat. Dia menilai bahwa Indonesia tengah dihadapkan dengan kebijakan yang meningkat drastis akibat risiko bencana yang meningkat karena krisis iklim dan kerusakan ekologi.
Ema meminta agar pemerintah pusat segera menjembatani kesenjangan pembiayaan ini untuk memastikan wilayah terdepan yang sulit dijangkau tetap mendapatkan bantuan. Dia juga menyebut respons bencana tidak boleh berhenti pada penyediaan logistik dan perbaikan infrastruktur, melainkan harus ada perubahan fundamental dalam ekosistem regulasi dan pola pikir tata kelola sumber daya alam di Indonesia.
Pemerintah dinilai perlu mengambil peran aktif dalam mengorkestrasi sumber daya dan operasi darurat untuk memastikan kecepatan distribusi logistik ke wilayah terisolasi berjalan efektif tanpa menegasikan peran pemerintah daerah. Pemerintah juga harus memasukkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang masif diakibatkan oleh kesalahan tata kelola dan ekspansi bisnis skala besar tanpa mitigasi risiko ke dalam definisi kerugian negara, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.