Pendidikan Matematika Era AI: Menjaga Kemampuan Berpikir Manusia, Tidak Mesin?
Di era kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI) yang semakin maju, pendidikan matematika Indonesia harus berinovasi agar tidak terpurun. Hal ini diungkapkan oleh Sitti Maesuri Patahuddin, Associate Professor di Pusat Penelitian Pendidikan STEM Universitas Canberra. Menurutnya, pendekatan menghafal hanya cukup, bukan lagi jawaban yang memadai dalam era AI.
Pendekatan ini lebih relevan pada era industri awal (1760-1840) ketika pekerja manufaktur dituntut mengikuti prosedur. Namun di abad ke-22, pendidikan harus menekankan penalaran, kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan beradaptasi.
Misalnya ketika menuliskan rumus luas segitiga "L = Β½ x a x t", guru jarang mengajak siswa menelusuri asal-usul rumus tersebut. Akibatnya, siswa mampu menyelesaikan latihan rutin tetapi kesulitan menjelaskan alasan di balik rumus atau mengaitkannya dengan konteks sehari-hari.
Di era AI ini, guru tidak lagi cukup mengajarkan hafalan atau rumus. Fokus pengajaran harus bergeser ke kemampuan nalar yang belum dapat digantikan mesin, seperti berpikir matematis, memahami konsep, dan mengaitkannya dengan konteks nyata.
Bergeser dari pendekatan menghafal prosedural ini, guru menjadi perancang rasa ingin tahu. Guru menerapkan pendekatan inkuiri, di mana siswa diajak mengeksplorasi masalah nyata, membandingkan strategi, dan menemukan prinsip bersama. Dalam model Teaching Through Problem Solving, guru tidak langsung memberikan rumus.
Saat ini beberapa negara, seperti Australia dan Singapura, telah mengadopsi pendekatan berbasis inkuiri. Siswa diajak mengeksplorasi masalah nyata, membandingkan strategi, dan menemukan prinsip bersama. Dalam model Teaching Through Problem Solving, guru tidak langsung memberikan rumus.
Pendekatan ini sejalan dengan kerangka ELPSA serta visi OECD Learning Compass 2030 dan UNESCO Futures of Education yang menekankan pembelajaran kontekstual, reflektif, dan bermakna. Di sekolah dasar Australia, misalnya, guru mengajak siswa menganalisis data cuaca untuk menentukan "waktu terbaik bermain pada hari Senin."
Di era kemajuan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI) yang semakin maju, pendidikan matematika Indonesia harus berinovasi agar tidak terpurun. Hal ini diungkapkan oleh Sitti Maesuri Patahuddin, Associate Professor di Pusat Penelitian Pendidikan STEM Universitas Canberra. Menurutnya, pendekatan menghafal hanya cukup, bukan lagi jawaban yang memadai dalam era AI.
Pendekatan ini lebih relevan pada era industri awal (1760-1840) ketika pekerja manufaktur dituntut mengikuti prosedur. Namun di abad ke-22, pendidikan harus menekankan penalaran, kreativitas, berpikir kritis, pemecahan masalah, dan kemampuan beradaptasi.
Misalnya ketika menuliskan rumus luas segitiga "L = Β½ x a x t", guru jarang mengajak siswa menelusuri asal-usul rumus tersebut. Akibatnya, siswa mampu menyelesaikan latihan rutin tetapi kesulitan menjelaskan alasan di balik rumus atau mengaitkannya dengan konteks sehari-hari.
Di era AI ini, guru tidak lagi cukup mengajarkan hafalan atau rumus. Fokus pengajaran harus bergeser ke kemampuan nalar yang belum dapat digantikan mesin, seperti berpikir matematis, memahami konsep, dan mengaitkannya dengan konteks nyata.
Bergeser dari pendekatan menghafal prosedural ini, guru menjadi perancang rasa ingin tahu. Guru menerapkan pendekatan inkuiri, di mana siswa diajak mengeksplorasi masalah nyata, membandingkan strategi, dan menemukan prinsip bersama. Dalam model Teaching Through Problem Solving, guru tidak langsung memberikan rumus.
Saat ini beberapa negara, seperti Australia dan Singapura, telah mengadopsi pendekatan berbasis inkuiri. Siswa diajak mengeksplorasi masalah nyata, membandingkan strategi, dan menemukan prinsip bersama. Dalam model Teaching Through Problem Solving, guru tidak langsung memberikan rumus.
Pendekatan ini sejalan dengan kerangka ELPSA serta visi OECD Learning Compass 2030 dan UNESCO Futures of Education yang menekankan pembelajaran kontekstual, reflektif, dan bermakna. Di sekolah dasar Australia, misalnya, guru mengajak siswa menganalisis data cuaca untuk menentukan "waktu terbaik bermain pada hari Senin."