Pemerintah Australia telah meluncurkan peraturan baru yang akan memblokir akses pengguna di bawah 16 tahun ke situs-situs media sosial terkemuka. Pilihan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan keragaman pendapat, khususnya dari sudut pandang anak-anak dan remaja.
Menurut pemerintah Australia, pemberlakuan peraturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari tekanan dan risiko yang dapat dihadapi saat menggunakan media sosial. Pada poin itu, pemerintah berjanji akan memastikan bahwa anak-anak dapat terbebas dari tekanan sosial yang ada di kalangan mereka.
Namun, kebanyakan remaja di Australia percaya sebaliknya. Mereka menganggap pemberlakuan peraturan ini tidak tepat dan hanya menutup mata pada masalah lainnya yang lebih penting. Seperti kata Macy Newland, pengacara remaja yang memelopori gugatan konstitusional atas peraturan ini, "Saya percaya sebagian besar teman-teman saya juga tidak setuju dengan pemberlakuan peraturan ini. Mereka lebih khawatir dengan masalah keamanan dan privasi di kalangan mereka daripada menghadapi tekanan sosial."
Perlu diingat bahwa anak-anak tersebut sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang risiko yang ada di media sosial, namun mungkin tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang cara menggunakan teknologi dengan aman dan bertanggung jawab.
Banyak organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia juga menentang pemberlakuan peraturan ini. Menurut mereka, peraturan ini hanya memblokir akses anak-anak ke media sosial tanpa menyediakan solusi alternatif yang lebih baik untuk melindungi mereka dari risiko tersebut.
Di antara mereka adalah organisasi UNICEF dan Komisi Hak Asasi Manusia Australia. Mereka percaya bahwa pemberlakuan peraturan ini tidak sepadan dengan masalah yang dihadapi anak-anak di media sosial.
"Peraturan ini hanya memblokir akses anak-anak ke media sosial, tanpa menyediakan solusi alternatif yang lebih baik untuk melindungi mereka dari risiko tersebut," kata Kim Osman, peneliti dari Institut Penelitian Media Digital Queensland. Menurutnya, remaja tersebut sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang risiko yang ada di media sosial dan membutuhkan solusi yang lebih baik.
Perlu diingat bahwa pemberlakuan peraturan ini akan berdampak pada anak-anak dengan disabilitas atau kelompok minoritas lainnya. Mereka mungkin tidak memiliki akses ke media sosial dan hanya dapat menemukan komunitas mereka melalui situs-situs tersebut.
Mengenai hal ini, Jennifer Crowther percaya bahwa peraturan ini akan menghancurkan komunitas anak-anak dengan disabilitas. "Anak-anak dengan disabilitas seperti bocah Lily yang saya tangani, memiliki kesempatan untuk menemukan komunitas mereka melalui media sosial," katanya.
Lily, seorang anak dengan cerebral palsy dan autisme yang disertai masalah lainnya, dapat menemukan komunitasnya melalui situs-situs media sosial. Namun, peraturan ini akan menghancurkan kemampuan mereka untuk terhubung dengan orang-orang lain seperti mereka.
"Saya khawatir bahwa keputusan pemerintah ini hanya memblokir akses anak-anak ke media sosial, tanpa menyediakan solusi alternatif yang lebih baik," kata Jennifer. "Anak-anak seperti bocah Lily tidak memiliki kesempatan untuk menemukan komunitas mereka melalui media sosial."
Menurut pemerintah Australia, pemberlakuan peraturan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari tekanan dan risiko yang dapat dihadapi saat menggunakan media sosial. Pada poin itu, pemerintah berjanji akan memastikan bahwa anak-anak dapat terbebas dari tekanan sosial yang ada di kalangan mereka.
Namun, kebanyakan remaja di Australia percaya sebaliknya. Mereka menganggap pemberlakuan peraturan ini tidak tepat dan hanya menutup mata pada masalah lainnya yang lebih penting. Seperti kata Macy Newland, pengacara remaja yang memelopori gugatan konstitusional atas peraturan ini, "Saya percaya sebagian besar teman-teman saya juga tidak setuju dengan pemberlakuan peraturan ini. Mereka lebih khawatir dengan masalah keamanan dan privasi di kalangan mereka daripada menghadapi tekanan sosial."
Perlu diingat bahwa anak-anak tersebut sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang risiko yang ada di media sosial, namun mungkin tidak memiliki pengetahuan yang lengkap tentang cara menggunakan teknologi dengan aman dan bertanggung jawab.
Banyak organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia juga menentang pemberlakuan peraturan ini. Menurut mereka, peraturan ini hanya memblokir akses anak-anak ke media sosial tanpa menyediakan solusi alternatif yang lebih baik untuk melindungi mereka dari risiko tersebut.
Di antara mereka adalah organisasi UNICEF dan Komisi Hak Asasi Manusia Australia. Mereka percaya bahwa pemberlakuan peraturan ini tidak sepadan dengan masalah yang dihadapi anak-anak di media sosial.
"Peraturan ini hanya memblokir akses anak-anak ke media sosial, tanpa menyediakan solusi alternatif yang lebih baik untuk melindungi mereka dari risiko tersebut," kata Kim Osman, peneliti dari Institut Penelitian Media Digital Queensland. Menurutnya, remaja tersebut sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang risiko yang ada di media sosial dan membutuhkan solusi yang lebih baik.
Perlu diingat bahwa pemberlakuan peraturan ini akan berdampak pada anak-anak dengan disabilitas atau kelompok minoritas lainnya. Mereka mungkin tidak memiliki akses ke media sosial dan hanya dapat menemukan komunitas mereka melalui situs-situs tersebut.
Mengenai hal ini, Jennifer Crowther percaya bahwa peraturan ini akan menghancurkan komunitas anak-anak dengan disabilitas. "Anak-anak dengan disabilitas seperti bocah Lily yang saya tangani, memiliki kesempatan untuk menemukan komunitas mereka melalui media sosial," katanya.
Lily, seorang anak dengan cerebral palsy dan autisme yang disertai masalah lainnya, dapat menemukan komunitasnya melalui situs-situs media sosial. Namun, peraturan ini akan menghancurkan kemampuan mereka untuk terhubung dengan orang-orang lain seperti mereka.
"Saya khawatir bahwa keputusan pemerintah ini hanya memblokir akses anak-anak ke media sosial, tanpa menyediakan solusi alternatif yang lebih baik," kata Jennifer. "Anak-anak seperti bocah Lily tidak memiliki kesempatan untuk menemukan komunitas mereka melalui media sosial."