Panggung APEC 2025 di Gyeongju, Korea Selatan menjadi tempat penting bagi Seoul untuk menunjukkan diplomasi budaya dan ekonomi yang kreatif. Dengan menampilkan G-Dragon sebagai duta KTT dan memberikan panggung di gala dinner, Seoul ingin menembus barikade China yang telah melindungi hiburan Korea Selatan selama bertahun-tahun.
Penggunaan K-pop bukan hanya sekadar promosi budaya, tetapi juga sebagai alat diplomasi strategis. APEC sendiri adalah forum ekonomi besar yang memiliki anggota 21 negara, dengan total produk domestik bruto dunia sebesar 62 persen dan hampir setengah perdagangan global.
Penundaan dan pembatalan konser K-pop di China yang terjadi sejak 2016 membuktikan bahwa moratorium ini bukan mitos. Penolakan visa pertunjukan, pembatasan lagu berbahasa Korea, dan syarat tentang kewarganegaraan artis telah membekukan arus konser live dan menyurutkan investasi bisnis promotor konser.
Dampaknya adalah efek yang berkali lipat dihadapi pelaku industri hiburan Korea Selatan. Kerugian ekonomi terlihat pada pendapatan tur, sponsor, dan penjualan merchandise yang seharusnya mengalir ke promotor dan artis jika pasar China terbuka.
Seoul memanfaatkan momentum KTT di Gyeongju untuk menunjukkan bahwa diplomasi budaya dapat menjadi instrumen ekonomi dan geopolitik yang efektif. Respons Seoul sangat pragmatis dan kompleks, dengan alih-alih mengutamakan promosi hiburan Korea Selatan di China, mereka fokus pada panggung multilateral yang lebih netral dan bereputasi ekonomi tinggi seperti APEC.
Dengan menempatkan G-Dragon sebagai duta APEC dan memberikan panggung di gala dinner, Seoul tidak hanya memperlihatkan soft power dari soft resources Korea Selatan, tetapi juga mengkomunikasikan bahwa budaya Korea adalah komponen dari strategi ekonomi kreatif yang lebih besar.
Penggunaan K-pop bukan hanya sekadar promosi budaya, tetapi juga sebagai alat diplomasi strategis. APEC sendiri adalah forum ekonomi besar yang memiliki anggota 21 negara, dengan total produk domestik bruto dunia sebesar 62 persen dan hampir setengah perdagangan global.
Penundaan dan pembatalan konser K-pop di China yang terjadi sejak 2016 membuktikan bahwa moratorium ini bukan mitos. Penolakan visa pertunjukan, pembatasan lagu berbahasa Korea, dan syarat tentang kewarganegaraan artis telah membekukan arus konser live dan menyurutkan investasi bisnis promotor konser.
Dampaknya adalah efek yang berkali lipat dihadapi pelaku industri hiburan Korea Selatan. Kerugian ekonomi terlihat pada pendapatan tur, sponsor, dan penjualan merchandise yang seharusnya mengalir ke promotor dan artis jika pasar China terbuka.
Seoul memanfaatkan momentum KTT di Gyeongju untuk menunjukkan bahwa diplomasi budaya dapat menjadi instrumen ekonomi dan geopolitik yang efektif. Respons Seoul sangat pragmatis dan kompleks, dengan alih-alih mengutamakan promosi hiburan Korea Selatan di China, mereka fokus pada panggung multilateral yang lebih netral dan bereputasi ekonomi tinggi seperti APEC.
Dengan menempatkan G-Dragon sebagai duta APEC dan memberikan panggung di gala dinner, Seoul tidak hanya memperlihatkan soft power dari soft resources Korea Selatan, tetapi juga mengkomunikasikan bahwa budaya Korea adalah komponen dari strategi ekonomi kreatif yang lebih besar.