Pembahasan tentang Soeharto diusulkan jadi pahlawan nasional kembali menimbulkan kontroversi. Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mengungkapkan alasan mengapa Soeharto perlu diangkat gelar tersebut.
Saat pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu 5 November 2025, Fadli menyebut Soeharto memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949. Aksi tersebut merupakan serangan besar untuk merebut Yogyakarta dari Belanda saat itu.
"Beliau memimpin Serangan Umum 1 Maret. Itu sebagai contoh, 1 Maret itu serangan besar," ucap Fadli usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu 5 November 2025.
Selain itu, Soeharto juga pernah memimpin operasi pembebasan Irian Barat. Operasi tersebut menjadi bagian dari rekam jejak militer sang mantan presiden.
"Belum lagi operasi pembebasan Irian Barat dan lain-lain," tambahnya.
Namun, wacana gelar pahlawan untuk Soeharto kembali memicu penolakan luas di media sosial. Banyak orang mengaitkan kasus-kasus kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru dengan pemberian gelar tersebut.
Publik mengaitkan kasus-kasus seperti penembakan misterius (Petrus), tragedi Tanjung Priok 1984, penculikan aktivis 1997, dan Kudatuli 1996 sebagai alasan penolakan.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengatakan setiap mantan presiden yang telah tiada layak menyandang gelar pahlawan nasional.
Saat pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu 5 November 2025, Fadli menyebut Soeharto memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949. Aksi tersebut merupakan serangan besar untuk merebut Yogyakarta dari Belanda saat itu.
"Beliau memimpin Serangan Umum 1 Maret. Itu sebagai contoh, 1 Maret itu serangan besar," ucap Fadli usai bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu 5 November 2025.
Selain itu, Soeharto juga pernah memimpin operasi pembebasan Irian Barat. Operasi tersebut menjadi bagian dari rekam jejak militer sang mantan presiden.
"Belum lagi operasi pembebasan Irian Barat dan lain-lain," tambahnya.
Namun, wacana gelar pahlawan untuk Soeharto kembali memicu penolakan luas di media sosial. Banyak orang mengaitkan kasus-kasus kekerasan negara dan pelanggaran HAM yang terjadi selama Orde Baru dengan pemberian gelar tersebut.
Publik mengaitkan kasus-kasus seperti penembakan misterius (Petrus), tragedi Tanjung Priok 1984, penculikan aktivis 1997, dan Kudatuli 1996 sebagai alasan penolakan.
Sementara itu, Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh mengatakan setiap mantan presiden yang telah tiada layak menyandang gelar pahlawan nasional.