Percaya atau tidak, penegakan hukum di Indonesia masih memiliki kekurangan dalam menghadapi ancaman radiasi. Terungkapnya kasus PT Peter Metal Technology (PMT) di Cikande, Banten, yang memanggil dirinya sebagai korban bencana radiasi bukanlah hal yang baru lagi. Sebenarnya sudah terjadi sebelum ini, yaitu pada tahun 2019 lalu.
Mengenai kasus ini, Satuan Tugas Penanganan Bahaya Radionuklida Cs-137 (Satgas) menduga bahwa sumber kontaminasi Cesium-137 tersebut berasal dari dalam negeri. Meskipun masih ada kesimpulan yang perlu dipertajamkan, namun dugaan awal menunjukkan bahwa asal-usul pencemaran di PT PMT adalah akibat penggunaan alat-alat industri yang mengandung radioaktif.
Dalam proses bisnisnya, PT PMT memperoleh scrap metal dari pemasok dalam negeri dan kemudian melebur logam tersebut untuk menjadi stainless steel. Namun, ternyata PT PMT menggunakan barang bekas industri yang terkontaminasi Cs-137, baik secara legal maupun ilegal.
Satgas menunjukkan bahwa penggunaan alat-alat mengandung bahan radioaktif di industri dalam negeri harus mengikuti ketentuan dan persyaratan yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) memiliki peraturan untuk penggunaan alat-alat tersebut.
Sementara itu, Kombes Sardo MP Sibarani mengakui bahwa sebelum kasus ini terungkap, pengawasan terhadap barang rongsok yang mengandung radioaktif masih kurang. Baru-baru ini, ia mengetahui bahwa di dalam negeri terdapat beberapa alat medis dan industri yang menggunakan Cs-137 dan iridium untuk keperluan rontgen.
Sisa alat medis yang mengandung radioaktif inilah yang diduga digunakan sebagai bahan baku industri, kemudian dibuang secara tidak bertanggung jawab. Pengepul-pengepul rongsok yang tidak mengetahui adanya kandungan radioaktif tersebut kemudian menjual besi bekas tersebut ke pabrik peleburan seperti PT PMT.
Proses peleburan dengan suhu tinggi inilah yang diduga menyebabkan bahan radioaktif tersebar melalui udara dan mencemari lingkungan sekitar. Tingkat radiasi di tungku peleburan PT PMT bahkan terukur mencapai 700 mikrosievert.
Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup KLHK, Frans Tjahyono, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan di beberapa pengepul besi tua dari daftar pemasok PT PMT dan tidak menemukan jejak kontaminasi Cs-137 di lokasi tersebut.
Mengenai kasus ini, Satuan Tugas Penanganan Bahaya Radionuklida Cs-137 (Satgas) menduga bahwa sumber kontaminasi Cesium-137 tersebut berasal dari dalam negeri. Meskipun masih ada kesimpulan yang perlu dipertajamkan, namun dugaan awal menunjukkan bahwa asal-usul pencemaran di PT PMT adalah akibat penggunaan alat-alat industri yang mengandung radioaktif.
Dalam proses bisnisnya, PT PMT memperoleh scrap metal dari pemasok dalam negeri dan kemudian melebur logam tersebut untuk menjadi stainless steel. Namun, ternyata PT PMT menggunakan barang bekas industri yang terkontaminasi Cs-137, baik secara legal maupun ilegal.
Satgas menunjukkan bahwa penggunaan alat-alat mengandung bahan radioaktif di industri dalam negeri harus mengikuti ketentuan dan persyaratan yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) memiliki peraturan untuk penggunaan alat-alat tersebut.
Sementara itu, Kombes Sardo MP Sibarani mengakui bahwa sebelum kasus ini terungkap, pengawasan terhadap barang rongsok yang mengandung radioaktif masih kurang. Baru-baru ini, ia mengetahui bahwa di dalam negeri terdapat beberapa alat medis dan industri yang menggunakan Cs-137 dan iridium untuk keperluan rontgen.
Sisa alat medis yang mengandung radioaktif inilah yang diduga digunakan sebagai bahan baku industri, kemudian dibuang secara tidak bertanggung jawab. Pengepul-pengepul rongsok yang tidak mengetahui adanya kandungan radioaktif tersebut kemudian menjual besi bekas tersebut ke pabrik peleburan seperti PT PMT.
Proses peleburan dengan suhu tinggi inilah yang diduga menyebabkan bahan radioaktif tersebar melalui udara dan mencemari lingkungan sekitar. Tingkat radiasi di tungku peleburan PT PMT bahkan terukur mencapai 700 mikrosievert.
Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Hidup KLHK, Frans Tjahyono, menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan pemeriksaan di beberapa pengepul besi tua dari daftar pemasok PT PMT dan tidak menemukan jejak kontaminasi Cs-137 di lokasi tersebut.