Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menilai bahwa narasi kepemimpinan perempuan di Indonesia perlu direkonstruksi ulang karena masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh perempuan di berbagai bidang, termasuk perjuangan emansipasi, pendidikan, dan tantangan-tantangan lainnya. Menurut Rerie, Forum Diskusi Denpasar 12 edisi ke-252 mengusung tema "Menuju 100 Tahun Kowani dan Peringatan 80 Tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)" untuk mengingatkan bersama-sama dan melakukan rekonstruksi ulang narasi kepemimpinan perempuan.
Kepemimpinan perempuan di Indonesia dimulai sejak zaman kolonialisme dan kemudian berkembang mengikuti perjalanan sejarah, yaitu dideklarasikannya Kowani pada 1928. Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem tersebut, inilah yang menjadi cikal bakal berbagai gerakan dan perjuangan kepemimpinan perempuan Indonesia.
Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) Kowani Nannie Hadi Tjahjanto menyatakan bahwa tema besar yang diusung Forum Diskusi Denpasar 12 ini merupakan kesempatan bagi Kowani untuk melakukan refleksi sekaligus introspeksi tentang kepemimpinan perempuan Indonesia. Menurut Nannie, kepemimpinan harus bisa melahirkan keadilan berkelanjutan dan memperkecil kesenjangan.
Ke depan, perempuan Indonesia tidak boleh menjadi korban pelecehan seksual, dan kurir narkoba, kata Nannie. Ulziisuren Jamsran dari UN Women di RI mengungkapkan bahwa dunia sedang menghadapi banyak masalah, termasuk yang dihadapi para perempuan. Masalah tersebut di antaranya terkait dengan teknologi, kemiskinan, lingkungan hidup, dan sosial.
Untuk menyelesaikannya, harus diselesaikan melalui politik, kebudayaan, dan keadilan sosial yang memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan. Menurut Jamsran, kaum perempuan sendiri harus bisa merangkul komunitas-komunitas perempuan.
Sementara itu, Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Mutiah Amini mengatakan hampir 100 tahun dalam hal kepemimpinan perempuan, PR-nya tidak berubah-ubah. Ternyata kita menghadapi permasalahan yang sama, termasuk persoalan-persoalan sosial.
Feminis Muda dari Institut Sarinah Fanda Puspitasari menambahkan bahwa dahulu Kowani berani berpolitik etik dan praktis untuk bangsa. Kini, harus dikembalikan ke posisi itu. Fanda mengajak semua pihak merangkul anak muda ke dalam Kowani dan menjadi aspirasi atau menjadi kepentingan dari anak-anak perempuan muda di Indonesia.
Komisioner Komisi Kejaksaan RI Rita Serena Kolibonso menambahkan bahwa perjuangan perempuan di Indonesia penuh dengan air mata dan darah. Kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi. Selain itu, kekerasan dan persekusi terhadap perempuan tidak boleh lagi terjadi.
Menutup diskusi, Wartawan Senior Saur Hutabarat mengatakan perlu untuk melihat Jepang. Negara itu resmi memilih perdana menteri (PM) perempuan pertama Sanae Takaichi. Padahal empat tahun lalu, Prof Mikiko Eto menerbitkan buku, 'Women and Political Inequality in Japan' yang mengutip data pada 2019. Di mana Jepang berada pada peringkat 164 dari 193 negara dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
Jepang menjadi pembelajaran bahwa perempuan Indonesia dapat memiliki pemimpin tertinggi dalam waktu yang tidak terlalu lama apabila menggerakkan seluruh energi.
Kepemimpinan perempuan di Indonesia dimulai sejak zaman kolonialisme dan kemudian berkembang mengikuti perjalanan sejarah, yaitu dideklarasikannya Kowani pada 1928. Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem tersebut, inilah yang menjadi cikal bakal berbagai gerakan dan perjuangan kepemimpinan perempuan Indonesia.
Sementara itu, Ketua Umum (Ketum) Kowani Nannie Hadi Tjahjanto menyatakan bahwa tema besar yang diusung Forum Diskusi Denpasar 12 ini merupakan kesempatan bagi Kowani untuk melakukan refleksi sekaligus introspeksi tentang kepemimpinan perempuan Indonesia. Menurut Nannie, kepemimpinan harus bisa melahirkan keadilan berkelanjutan dan memperkecil kesenjangan.
Ke depan, perempuan Indonesia tidak boleh menjadi korban pelecehan seksual, dan kurir narkoba, kata Nannie. Ulziisuren Jamsran dari UN Women di RI mengungkapkan bahwa dunia sedang menghadapi banyak masalah, termasuk yang dihadapi para perempuan. Masalah tersebut di antaranya terkait dengan teknologi, kemiskinan, lingkungan hidup, dan sosial.
Untuk menyelesaikannya, harus diselesaikan melalui politik, kebudayaan, dan keadilan sosial yang memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan. Menurut Jamsran, kaum perempuan sendiri harus bisa merangkul komunitas-komunitas perempuan.
Sementara itu, Dosen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr Mutiah Amini mengatakan hampir 100 tahun dalam hal kepemimpinan perempuan, PR-nya tidak berubah-ubah. Ternyata kita menghadapi permasalahan yang sama, termasuk persoalan-persoalan sosial.
Feminis Muda dari Institut Sarinah Fanda Puspitasari menambahkan bahwa dahulu Kowani berani berpolitik etik dan praktis untuk bangsa. Kini, harus dikembalikan ke posisi itu. Fanda mengajak semua pihak merangkul anak muda ke dalam Kowani dan menjadi aspirasi atau menjadi kepentingan dari anak-anak perempuan muda di Indonesia.
Komisioner Komisi Kejaksaan RI Rita Serena Kolibonso menambahkan bahwa perjuangan perempuan di Indonesia penuh dengan air mata dan darah. Kematian ibu akibat melahirkan masih tinggi. Selain itu, kekerasan dan persekusi terhadap perempuan tidak boleh lagi terjadi.
Menutup diskusi, Wartawan Senior Saur Hutabarat mengatakan perlu untuk melihat Jepang. Negara itu resmi memilih perdana menteri (PM) perempuan pertama Sanae Takaichi. Padahal empat tahun lalu, Prof Mikiko Eto menerbitkan buku, 'Women and Political Inequality in Japan' yang mengutip data pada 2019. Di mana Jepang berada pada peringkat 164 dari 193 negara dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen.
Jepang menjadi pembelajaran bahwa perempuan Indonesia dapat memiliki pemimpin tertinggi dalam waktu yang tidak terlalu lama apabila menggerakkan seluruh energi.