Mahkamah Konstitusi (MK) digugat oleh 5 mahasiswa, yaitu Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna, terkait dengan kebendahan terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3). Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 yang membahas tentang syarat pemberhentian antarwaktu anggota DPR.
Menurut mereka, pasal tersebut menyebabkan pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, tetapi tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat dan partisipasi aktif warga. "Di sisi lain, ketika terdapat anggota DPR yang diminta oleh rakyat untuk diberhentikan karena tidak lagi mendapat legitimasi dari konstituen, justru dipertahankan oleh partai politik," katanya.
Para pemohon mengalami kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya potensi akibat berlakunya ketentuan pasal diuji. Mereka meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pertama, para pemohon menjelaskan bahwa pasal tersebut menyebabkan terjadinya pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR. "Namun, mereka memandang, partai politik dalam praktiknya sering kali memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat," kata Ikhsan.
Para pemohon juga menyatakan bahwa ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Mereka berharap Mahkamah dapat menafsirkan pasal tersebut menjadi yang lebih spesifik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Menurut mereka, pasal tersebut menyebabkan pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR, tetapi tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat dan partisipasi aktif warga. "Di sisi lain, ketika terdapat anggota DPR yang diminta oleh rakyat untuk diberhentikan karena tidak lagi mendapat legitimasi dari konstituen, justru dipertahankan oleh partai politik," katanya.
Para pemohon mengalami kerugian hak konstitusional yang bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya potensi akibat berlakunya ketentuan pasal diuji. Mereka meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pertama, para pemohon menjelaskan bahwa pasal tersebut menyebabkan terjadinya pengeksklusifan terhadap partai politik untuk memberhentikan anggota DPR. "Namun, mereka memandang, partai politik dalam praktiknya sering kali memberhentikan anggota DPR tanpa alasan yang jelas dan tidak mempertimbangkan prinsip kedaulatan rakyat," kata Ikhsan.
Para pemohon juga menyatakan bahwa ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Mereka berharap Mahkamah dapat menafsirkan pasal tersebut menjadi yang lebih spesifik dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.