Sumpah Pemuda di era digital bukanlah sekadar simulasi dari peristiwa sejarah 1928, melainkan juga merupakan simbolisasi semangat generasi muda dalam menghadapi tantangan yang lebih kompleks dan mendalam dalam era globalisasi.
Generasi muda di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tidak lagi percaya pada sistem politik formal yang dikuasai oleh oligarki global. Mereka memilih untuk menggunakan teknologi digital sebagai alat untuk mengorganisir diri, memproduksi makna, dan menegosiasikan kembali makna keadilan.
Di Nepal, Madagaskar, Maroko, Kenya, Peru, Timor Leste, dan Indonesia sendiri, terdapat gelombang gerakan pemuda yang merebak melalui platform digital seperti TikTok, Discord, dan X. Mereka menggunakan bahasa populer, simbol-simbol budaya pop, dan perlawanan digital untuk menantang struktur ekonomi politik neoliberal yang menindas manusia atas nama kemajuan.
Sumpah Pemuda di era digital bukan sekadar tentang peringatan akan krisis demokrasi modern; ia adalah projek politik yang belum selesai. Generasi muda memimpin perubahan, tidak lagi menunggu ruang diberikan, mereka menciptakan ruang itu sendiri.
Dalam konteks geopolitik global, gerakan muda di berbagai belahan dunia mengingatkan kita bahwa demokrasi hanya bisa hidup sejauh imajinasi moral masyarakatnya masih hidup. Mereka sedang menulis ulang peta dunia dengan solidaritas, kreativitas, dan imajinasi yang menolak tunduk.
Mungkin, seperti Luffy dan kawan-kawan dalam One Piece, mereka sedang berlayar menuju cita-cita yang sama: dunia di mana kekuasaan tidak lagi menjadi alat penindasan, tapi ruang kebebasan untuk semua.
Generasi muda di seluruh dunia, termasuk Indonesia, tidak lagi percaya pada sistem politik formal yang dikuasai oleh oligarki global. Mereka memilih untuk menggunakan teknologi digital sebagai alat untuk mengorganisir diri, memproduksi makna, dan menegosiasikan kembali makna keadilan.
Di Nepal, Madagaskar, Maroko, Kenya, Peru, Timor Leste, dan Indonesia sendiri, terdapat gelombang gerakan pemuda yang merebak melalui platform digital seperti TikTok, Discord, dan X. Mereka menggunakan bahasa populer, simbol-simbol budaya pop, dan perlawanan digital untuk menantang struktur ekonomi politik neoliberal yang menindas manusia atas nama kemajuan.
Sumpah Pemuda di era digital bukan sekadar tentang peringatan akan krisis demokrasi modern; ia adalah projek politik yang belum selesai. Generasi muda memimpin perubahan, tidak lagi menunggu ruang diberikan, mereka menciptakan ruang itu sendiri.
Dalam konteks geopolitik global, gerakan muda di berbagai belahan dunia mengingatkan kita bahwa demokrasi hanya bisa hidup sejauh imajinasi moral masyarakatnya masih hidup. Mereka sedang menulis ulang peta dunia dengan solidaritas, kreativitas, dan imajinasi yang menolak tunduk.
Mungkin, seperti Luffy dan kawan-kawan dalam One Piece, mereka sedang berlayar menuju cita-cita yang sama: dunia di mana kekuasaan tidak lagi menjadi alat penindasan, tapi ruang kebebasan untuk semua.