Pelaku Ledakan SMAN 72 Jakarta: Siswa yang Merasa Tak Punya Tempat Curhat dan Simpan Dendam
Dalam kasus ledakan SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara yang terjadi pada Jumat (7/11) siang, pelaku diduga menyimpan dendam sekaligus merasa tak memiliki tempat untuk menyalurkan perasaan dan keluh kesahnya.
Menurut Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, berdasarkan hasil penyelidikan pelaku mulai menunjukkan ketertarikan terhadap kekerasan sejak awal tahun 2025. Ia diketahui melakukan pencarian di internet tentang berbagai cara kematian, baik akibat kekerasan brutal maupun kecelakaan.
"Setelah itu, yang bersangkutan juga memiliki motivasi dendam terhadap beberapa perlakuan-perlakuan kepada yang bersangkutan. Dalam komunitas media sosial yang bersangkutan, kekerasan dianggap sebagai tindakan heroik," ujar Mayndra dalam konferensi pers.
Peristiwa ledakan terjadi saat salat Jumat berlangsung, dan mengguncang dua lokasi di lingkungan sekolah: masjid dan area samping bank sampah. Polisi menemukan tujuh bahan peledak, empat di antaranya sempat meledak.
Saat ini, pelaku terinspirasi oleh berbagai faktor kekerasan, termasuk kejadian teror Gereja Charleston hingga paham Neo-Nazi.
Setelah ledakan, polisi menetapkan pelaku sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH) dan dijerat dengan Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 355 KUHP, Pasal 187 KUHP, serta Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951.
Kepolisian menegaskan proses hukum akan mengedepankan Sistem Peradilan Anak, mengingat baik pelaku maupun sebagian korban masih berusia di bawah umur.
Dalam kasus ledakan SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara yang terjadi pada Jumat (7/11) siang, pelaku diduga menyimpan dendam sekaligus merasa tak memiliki tempat untuk menyalurkan perasaan dan keluh kesahnya.
Menurut Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, berdasarkan hasil penyelidikan pelaku mulai menunjukkan ketertarikan terhadap kekerasan sejak awal tahun 2025. Ia diketahui melakukan pencarian di internet tentang berbagai cara kematian, baik akibat kekerasan brutal maupun kecelakaan.
"Setelah itu, yang bersangkutan juga memiliki motivasi dendam terhadap beberapa perlakuan-perlakuan kepada yang bersangkutan. Dalam komunitas media sosial yang bersangkutan, kekerasan dianggap sebagai tindakan heroik," ujar Mayndra dalam konferensi pers.
Peristiwa ledakan terjadi saat salat Jumat berlangsung, dan mengguncang dua lokasi di lingkungan sekolah: masjid dan area samping bank sampah. Polisi menemukan tujuh bahan peledak, empat di antaranya sempat meledak.
Saat ini, pelaku terinspirasi oleh berbagai faktor kekerasan, termasuk kejadian teror Gereja Charleston hingga paham Neo-Nazi.
Setelah ledakan, polisi menetapkan pelaku sebagai anak berkonflik dengan hukum (ABH) dan dijerat dengan Pasal 80 ayat (2) jo Pasal 76C Undang-Undang Perlindungan Anak, Pasal 355 KUHP, Pasal 187 KUHP, serta Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 12 Tahun 1951.
Kepolisian menegaskan proses hukum akan mengedepankan Sistem Peradilan Anak, mengingat baik pelaku maupun sebagian korban masih berusia di bawah umur.