Pasar RI Pekan Depan: Siap-Siap Pengaruh AS & China
Pekan depan (1-5 Desember), pelaku pasar keuangan wajib memasang mode waspada penuh. Pasar global dan domestik memasuki fase pembuktian fundamental yang sesungguhnya.
Apakah Indonesia mampu mempertahankan benteng eksternalnya? Apakah Amerika Serikat (AS) sukses mendarat mulus (soft landing)? Dan apakah China benar-benar sudah pulih?
Investor akan disuguhi menu data ekonomi yang sangat padat. Volatilitas tinggi diprediksi akan mewarnai perdagangan, terutama menjelang rilis data AS dan China yang beriringan dengan data krusial dari dalam negeri.
Ekonomi Indonesia saat ini sedang bermanuver di tengah ketidakpastian global dengan mengandalkan dua mesin utama yaitu ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga. Sorotan utama pekan depan tertuju pada rilis Neraca Perdagangan (Balance of Trade).
Meskipun Indonesia telah mencatatkan rekor surplus beruntun yang panjang, tren penyusutan surplus mulai terlihat seiring normalisasi harga komoditas global. Jika surplus ini tergerus terlalu dalam, bantalan stabilitas Rupiah akan menipis.
Pasar memproyeksikan surplus neraca perdagangan Oktober akan menyusut menjadi US$ 3,8 Miliar dari bulan sebelumnya US$ 4,34 Miliar. Surplus dagang adalah sumber utama pasokan Dolar AS di dalam negeri.
Di sisi lain, investor saham menanti data Inflasi (CPI) dan Manufaktur PMI. Jika inflasi tetap terkendali dalam rentang target BI dan aktivitas pabrik mampu bertahan di zona ekspansi, ini akan menjadi sinyal kuat bahwa permintaan domestik masih tangguh.
Kondisi makroekonomi di Asia Timur memberikan sinyal yang beragam (mixed) namun cenderung konstruktif bagi Indonesia. China, yang sedang berjuang melawan risiko deflasi dan krisis properti, mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi berkat rentetan stimulus pemerintah.
Data Manufacturing PMI China yang bertahan di level ekspansi (terakhir 50,6 dan proyeksi 50,4) adalah kabar baik bagi emiten komoditas Indonesia.
Pekan depan (1-5 Desember), pelaku pasar keuangan wajib memasang mode waspada penuh. Pasar global dan domestik memasuki fase pembuktian fundamental yang sesungguhnya.
Apakah Indonesia mampu mempertahankan benteng eksternalnya? Apakah Amerika Serikat (AS) sukses mendarat mulus (soft landing)? Dan apakah China benar-benar sudah pulih?
Investor akan disuguhi menu data ekonomi yang sangat padat. Volatilitas tinggi diprediksi akan mewarnai perdagangan, terutama menjelang rilis data AS dan China yang beriringan dengan data krusial dari dalam negeri.
Ekonomi Indonesia saat ini sedang bermanuver di tengah ketidakpastian global dengan mengandalkan dua mesin utama yaitu ekspor komoditas dan konsumsi rumah tangga. Sorotan utama pekan depan tertuju pada rilis Neraca Perdagangan (Balance of Trade).
Meskipun Indonesia telah mencatatkan rekor surplus beruntun yang panjang, tren penyusutan surplus mulai terlihat seiring normalisasi harga komoditas global. Jika surplus ini tergerus terlalu dalam, bantalan stabilitas Rupiah akan menipis.
Pasar memproyeksikan surplus neraca perdagangan Oktober akan menyusut menjadi US$ 3,8 Miliar dari bulan sebelumnya US$ 4,34 Miliar. Surplus dagang adalah sumber utama pasokan Dolar AS di dalam negeri.
Di sisi lain, investor saham menanti data Inflasi (CPI) dan Manufaktur PMI. Jika inflasi tetap terkendali dalam rentang target BI dan aktivitas pabrik mampu bertahan di zona ekspansi, ini akan menjadi sinyal kuat bahwa permintaan domestik masih tangguh.
Kondisi makroekonomi di Asia Timur memberikan sinyal yang beragam (mixed) namun cenderung konstruktif bagi Indonesia. China, yang sedang berjuang melawan risiko deflasi dan krisis properti, mulai menunjukkan tanda-tanda stabilisasi berkat rentetan stimulus pemerintah.
Data Manufacturing PMI China yang bertahan di level ekspansi (terakhir 50,6 dan proyeksi 50,4) adalah kabar baik bagi emiten komoditas Indonesia.