Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla terjebak dalam sengketa lahan di Makassar, kasus yang menimbulkan persoalan serius tentang praktik mafia tanah dan tumpang tindih administrasi pertanahan di Indonesia. Azis Subekti, anggota Komisi II DPR RI, menyatakan bahwa kelemahannya di masa lalu hingga dapat merugikan tokoh sebesar Jusuf Kalla.
"Dengan demikian, kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa dan jaringan," ujar Azis melalui keterangan tertulis. Sengketa lahan ini berakar dari produk administrasi lama Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Data Kementerian ATR/BPN pada 2024 mencatat terdapat 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara pertanahan, dengan tingkat penyelesaian sekitar 46,88%. Sementara hingga Oktober 2025, terdapat 6.015 kasus baru yang masuk dan baru separuh yang dapat diselesaikan.
Kelompok masyarakat kecil justru menjadi pihak paling terdampak, terutama dalam kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat kecil dengan 2.161 kasus pada 2024. "Kalau seorang tokoh besar bisa jadi korban, bayangkan bagaimana nasib petani, nelayan, atau warga biasa yang tidak punya akses hukum maupun informasi," ucapnya.
Azis menilai negara harus hadir aktif dan tidak hanya fokus pada kasus besar yang menjadi perhatian publik. Kasus sengketa yang dialami Jusuf Kalla dijadikan momentum untuk membenahi sistem administrasi pertanahan secara menyeluruh. Reformasi harus dilakukan dari aspek transparansi, pengawasan, digitalisasi data, hingga pembersihan oknum internal yang diduga terlibat praktik mafia tanah.
Tidak boleh lagi ada ruang abu-abu yang membuka peluang sertifikat ganda atau manipulasi data. Penanganan kasus rakyat kecil harus dibuka selebar-lebarnya, kata Azis. Partai Gerindra mendukung penuh langkah tegas Menteri ATR/BPN dalam membersihkan institusi pertanahan dan mempercepat penataan ulang administrasi agraria.
"Dengan demikian, kalau seorang mantan Wakil Presiden saja bisa menjadi korban salah kelola administrasi pertanahan, apalagi rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa dan jaringan," ujar Azis melalui keterangan tertulis. Sengketa lahan ini berakar dari produk administrasi lama Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Data Kementerian ATR/BPN pada 2024 mencatat terdapat 11.083 sengketa tanah, 506 konflik, dan 24.120 perkara pertanahan, dengan tingkat penyelesaian sekitar 46,88%. Sementara hingga Oktober 2025, terdapat 6.015 kasus baru yang masuk dan baru separuh yang dapat diselesaikan.
Kelompok masyarakat kecil justru menjadi pihak paling terdampak, terutama dalam kasus pertanahan yang melibatkan masyarakat kecil dengan 2.161 kasus pada 2024. "Kalau seorang tokoh besar bisa jadi korban, bayangkan bagaimana nasib petani, nelayan, atau warga biasa yang tidak punya akses hukum maupun informasi," ucapnya.
Azis menilai negara harus hadir aktif dan tidak hanya fokus pada kasus besar yang menjadi perhatian publik. Kasus sengketa yang dialami Jusuf Kalla dijadikan momentum untuk membenahi sistem administrasi pertanahan secara menyeluruh. Reformasi harus dilakukan dari aspek transparansi, pengawasan, digitalisasi data, hingga pembersihan oknum internal yang diduga terlibat praktik mafia tanah.
Tidak boleh lagi ada ruang abu-abu yang membuka peluang sertifikat ganda atau manipulasi data. Penanganan kasus rakyat kecil harus dibuka selebar-lebarnya, kata Azis. Partai Gerindra mendukung penuh langkah tegas Menteri ATR/BPN dalam membersihkan institusi pertanahan dan mempercepat penataan ulang administrasi agraria.