Pemerintahan Prabowo-Gibran ini tercatat sebagai periode kemunduran paling parah dalam penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) sejak era reformasi. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pemerintahan ini diwarnai oleh "erosi kebebasan" dan "kembalinya praktik otoritarianisme" yang membungkam suara kritis, melemahkan lembaga-lembaga HAM, serta memperluas peran militer di ruang sipil.
Tahun pertama pemerintahan ini diwarnai oleh paradoks. Di satu sisi, tampak populis, tapi di sisi lain, sarat kepentingan elite. Pemerintah mengklaim pro-rakyat, tapi substansinya justru memperkuat kelompok berkuasa.
Amnesty International Indonesia menyoroti pernyataan sejumlah menteri yang dianggap menyangkal pelanggaran HAM berat, seperti tragedi Mei 1998 dan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa. "Jika hanya satu menteri yang menyangkal, mungkin bisa disebut salah bicara. Tapi ketika lebih dari dua menteri melakukannya, itu bukan kebetulan, itu kebijakan negara," kata Usman.
Kemunduran demokrasi paling mencolok terlihat dari remilitarisasi ruang sipil. Revisi Undang-Undang TNI membuka jalan bagi perwira aktif menduduki hingga 16 jabatan struktural di pemerintahan. Sementara itu, jumlah komando teritorial terus bertambah hingga diperkirakan mencapai 37 Kodam pada 2029.
Amnesty juga menyoroti penanganan demonstrasi yang kerap diwarnai kekerasan aparat. Menurut mereka, lebih dari 5.000 kasus pelanggaran, termasuk 4.400 penangkapan, 700 kekerasan fisik, dan 340 penyalahgunaan gas air mata serta water cannon.
Usman Hamid menyimpulkan, tahun pertama pemerintahan PrabowoโGibran adalah periode "erosi HAM paling parah dalam dua dekade terakhir." "Erosi ini seperti pengikisan tanah โ perlahan tapi pasti, menghancurkan fondasi demokrasi kita. Dari hak berbicara, berkumpul, hingga hak hidup yang aman, semuanya terkikis," pungkasnya.
Amnesty International Indonesia menilai bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran ini merupakan periode kemunduran paling parah dalam penghormatan terhadap HAM sejak era reformasi.
Tahun pertama pemerintahan ini diwarnai oleh paradoks. Di satu sisi, tampak populis, tapi di sisi lain, sarat kepentingan elite. Pemerintah mengklaim pro-rakyat, tapi substansinya justru memperkuat kelompok berkuasa.
Amnesty International Indonesia menyoroti pernyataan sejumlah menteri yang dianggap menyangkal pelanggaran HAM berat, seperti tragedi Mei 1998 dan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan etnis Tionghoa. "Jika hanya satu menteri yang menyangkal, mungkin bisa disebut salah bicara. Tapi ketika lebih dari dua menteri melakukannya, itu bukan kebetulan, itu kebijakan negara," kata Usman.
Kemunduran demokrasi paling mencolok terlihat dari remilitarisasi ruang sipil. Revisi Undang-Undang TNI membuka jalan bagi perwira aktif menduduki hingga 16 jabatan struktural di pemerintahan. Sementara itu, jumlah komando teritorial terus bertambah hingga diperkirakan mencapai 37 Kodam pada 2029.
Amnesty juga menyoroti penanganan demonstrasi yang kerap diwarnai kekerasan aparat. Menurut mereka, lebih dari 5.000 kasus pelanggaran, termasuk 4.400 penangkapan, 700 kekerasan fisik, dan 340 penyalahgunaan gas air mata serta water cannon.
Usman Hamid menyimpulkan, tahun pertama pemerintahan PrabowoโGibran adalah periode "erosi HAM paling parah dalam dua dekade terakhir." "Erosi ini seperti pengikisan tanah โ perlahan tapi pasti, menghancurkan fondasi demokrasi kita. Dari hak berbicara, berkumpul, hingga hak hidup yang aman, semuanya terkikis," pungkasnya.
Amnesty International Indonesia menilai bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran ini merupakan periode kemunduran paling parah dalam penghormatan terhadap HAM sejak era reformasi.